Jumat, 08 Mei 2009

Perseroan (Syirkah) dan Koperasi
dalam Persfektif Syariat Islam
Disampaikan dari berbagai sumber oleh: Jilan Nasywa hanifah,S.Pd.I

Muqaddimah
Makalah ini membahas permasalahan syirkah/perseroan dan koperasi dalam pandangan Islam. Hal ini perlu dikaji secara mendalam untuk senatiasa menjaga paradigma kita sesuai dengan Islam dan menyampaikannya ke tengah-tengah masyarakat. Sebelum kita berbuat atau melakukan aktifitas kerjasama dalam bisnis, hal penting bagi kita adalah memahami hukum-hukumnya, karena sorang muslim dalam perbuatannya terikat dengan hukum syara’. Terkait dengan bentuk kerjasama dalam mencarai keuntungan/bisnis, saat ini kita telah mengenal koperasi. Yaitu salah satu badan usaha yang menjadi soko guru perekonomian nasional (walaupun sampai saat ini masih dalam harapan , angan-angan dan slogan), menarik untuk didiskusikan. Seiring dengan pembicaraan sebagian besar masyarakat terkait dengan ekonomi kerakyatan yang identik dengan pembahasan masalah koperasi. Hal yang menarik dan perlu dikaji oleh kita sebagai seorang muslim, ketika kemudian muncul suatu anggapan yang salah ditengah-tengah umat bahwa ekonomi koperasi identik dengan ekonomi kemerataan ( istilah yang disampaikan oleh Prof.Dr. Herman Soewardi) adalah bagian dari ekonomi Islam, bahkan lebih jauh lagi ada yang berpendapat bahwa sistem ekonomi koperasi adalah sistem ekonomi Islam. Benarkah demikian? Sebelum kita membahas fakta-fakta dan hukum koperasi, sebelumnya harus dipahami hukum Syirkah dalam Islam sebagai standar, kemudian menilai apakah koperasi dan perseroan-perseroan yang ada sesuai atau tidak dengan syirkah dalam Islam.

A. SYIRKAH DALAM ISLAM

Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi'il mâdhi), yasyraku (fi'il mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm। 765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah, 3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146).

Hukum dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya jâ'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:

Allah 'Azza wa Jalla telah berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.
(HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).

Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal), disebut juga ma‘qûd 'alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl) (Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).

Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).

Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi kontribusi kerja ('amal) dan modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, "Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah). (An-Nabhani, 1990: 151.)

Syirkah 'Abdan
Syirkah 'abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja ('amal), tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah 'abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah 'abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil As-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas‘ud ra. pernah berkata (yang artinya), "Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa'ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa'ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun." (HR Abu Dawud dan al-Atsram).
Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau. (An-Nabhani, 1990: 151).

Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja ('amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl). (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal ('âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ'iz (boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/'âmil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/66).

Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja ('amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah padanya. (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah 'abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah 'abdan. Syirkah mudhârabah dan syirkah 'abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani, 1990: 155-156).

Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inân, 'abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah 'abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah

B. KOPERASI DALAM PERSFEKTIF ISLAM

Fakta Tentang Koperasi
Koperasi sebagai bentuk badan usaha sebenarnya merupakan usaha tambal sulam dari sistem ekonomi kapitalisme yang sangat menonjolkan kapital (modal) dan individualisme. Oleh kerena itu dari segi operasionalisasi mirip dengan bentuk badan usaha lainnya (PT,Firma) yang lahir dari sistem ekonomi kapitalisme.
Menurut UU. No 25 tahun 1992 tentang pokok-pokok perkoperasian pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsif koperasi sekaligus sebagai gerakan rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Yang dimaksud dengan prinsif koperasi menurut pasal 5 adalah:
1. Keanggotaan secara sukarela dan dan terbatas
2. Pengelolaan dilakukan secara demokratis
3. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
4. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
Sedangkan menurut Prof Dr Herman Soewardi dalam bukunya Nalar :Kontemplasi dan Realita menyebutkan bahwa koperasi adalah gabungan pemodal-pemodal kecil yang ingin melakukan usaha agar timbul produksi barang atau jasa untuk kesejahteraan masyarakat.

Perangkat Stuktur Organisasi Koperasi
Secara Umum terdiri dari : (1).Rapat anggota sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dan bertugas untuk mengangkat Pengurus(ketua, sekretaris dan bendahara) dan badan,(2)Pengawas, (3)Pengurus

Modal dan penbagian Laba atau sisa Hasil Usaha
Modal Kopersai biasanya diperoleh dari modal sendiri dan modal pinjaman, modal sendiri yaitu simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan sukarela, dana cadangan dan hibah, sedangkan modal pinjaman bisa berasal dari anggota atau bukan anggota, bisa perorangan ataupun lembaga lainnya. Adapun sisa hasil usaha (laba) setelah dikurangi dana cadangan , dibagikan pada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan masing-masing anggota dengan koperasi.

Bentuk Koperasi
Koperasi sebagai badan usaha bentuk usahanya bermacam-macam, yaitu:1) Koperasi simpan pinjam, 2) Koperasi Produksi, 3) Koperasi Konsumsi, dan 4) Koperasi serba Guna (Usaha)
Berdasarkan pengamatan dan fakta yang ada di masyarakat berkaitan dengan koperasi , maka inti dari koperasi adalah;
1. Koperasi adalah salah satu bentuk perseroan dari bentuk-bentuk perseroan yang lain
2. Keanggotan koperasi bersifat terbuka , sehingga setiap orang bisa masuk menjadi anggota koperasi setiap saat dengan syarat –syarat yang berlaku untuk anggota-anggota sebelumnya .
3. Anggota mewakilkan pada pengurus untuk mnejalankan usaha koperasi, ada sebagian koperasi yang memberikan gaji tetap kepada pengurus ada yang tidak tetap tapi dalam bentuk prosentasi dari sisa hasil usaha.
4. Anggota koperasi mempunyai hak yang sama tanpa memandang besarnya modal yang ditanamkan.
5. Membagikan laba (Sisa Hasil Usaha) kepada anggota tidak berdasarkan modal tapi berdasarkan keaktifan anggota dalam memanfaatkan produk atau jasa koperasi (misalnya pembelian atau pinjaman terhadap koperasi).

Pandang an Syariat Islam tentang Koperasi
Sebelum membahas hal –hal tersebut Kita harus memperhatikan rambu-rambu berikut:
1. seluruh perbutan manusia dan benda yang digunakan dan ataui berhubungan dengan perbuatan manusia , hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau . Bertdasarkan QS. Al Hasyr: 7. Allah SWT berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: “Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarang-Nya bagimu maka tinggalkanlah”

Dan firman Allah dalam QS anNisa: 65

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya: “Maka demi Tuhanmu mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim terthadap perkara yang mereka perselisihkan.”

Dan HR. Imam Muslim , yang artinya “Siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya maka perbuatan tersebut tertolak”. Dalil dalil ini menunjukan bahwa dasar dasar kewajiban mengikuti syariat dan terikat dengannya dalam hal perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya.
2. Hukum-hukum syariat Islam telah turun secara sempurna meliputi seluruh aspek kehidupan manusia baik politik, ekonomi, sosial budaya maupun yang lainnya, baik yang telah terjadi , sedag terjadi, maupun yang akan terjadi/yang mungkin ada pada masa yang akan datang. Jadi syariat Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh . Allah berfirman, yang artinya:

“Dan kami turunkan Kepadamu al-kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Islam.”(QS An Nahl 89).Dan tidaklah Kami alpakan sesuatupun didalam al-kitab (al Qur’an).”( Qs Al An’am:6).

Berdasarkan hal tersebut dan penjelasan sebelumnya berkaitan dengan syirkah dan koperasi maka koperasi sebagai suatu badan usaha yang muncul sebagai tambal sulam dari ekonomi kapitalisme merupakan bentuk badan usaha yang tidak sesuai dengan hukum Islam dan terlarang bagi kaum muslimin untuk mendirikannya dan mengambil sebagai suatu cara usahanya dalam perekonomian. Adapun sebabnya adalah:
Pertama, Koperasi adalah salah satu bentuk perseroan. Oleh karena itu syarat-syarat perseroan/syirkah yang dinyatakan oleh syara’ harus dipenuhi. Setelah mengkaji fakta koperasi, perseroan/syirkah yang mungkin cocok untuk bentuk koperasi adalah perseroan/syirkah Mudharabah, karena tidak setiap anggota koperasi tidak terlibat langsung dalam kegiatan usaha. Tapi ternyata dalam koperasi tidak terpenuhi syarat perseroan Mudharabah sehingga perseroan Koperasi adalah perseroan yang batil, karena:
a. Didalam perseroan koperasi tidak pernah ada aqad mudharabah diantara para anggota operasi. Sementara aqad merupakan hal yang penting didalam perbuatan muamalah seperti halnya niat dalam masalah ibadah. Menurut Thahir Muhsin Sulaiman dalam bukunya “Menanggulangi Krisis Ekonomi Dalam Islam” pada pembahasan sirkulasi pakai aqad dan macam-macamnya menyebutkan: aqad didalam Islam wajib dilaksanakan sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-maidah: 1, yang artinya “ Hai orang orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu”, dan menurut Taqiyyuddin An Nabahani bahwa dalam aqad tersebut mengharuskan adanya ijab dan qabul sekaligus.
b. Dalam suatu perseroan mudharabah mengharuskan ada 2 pihak, yaitu pihak yang memiliki modal/shohibul maal /Investor) dan pihak kedua adalah mudharib/pengelola. Dimana kedua pihak sepakat untuk membagi keuntungan antara pemodal dan pengelola sesuai kesepakatan, sementara kerugian ditanggung oleh pemodal. Apabila hal ini kita aplikasikan kedalam koperasi, makakita akan menemukan bahwa dalam koperasi tidak pernah terwujud pengelola (badan) yang sah menurut syara’, yang ada hanya akumulasi modal yag dikumpulkan dari para anggota. Adapun pengurus koperasi (KEetua, Sekretaris dan Bendahara) ini tidak sah sebagai pihak pengelola menurut syara’, dikarenakan:
1. Tidak pernah terjadi aqad mudharabah antara anggota sebagai pemodal dan pengurus sebagai pengelola, yang ada hanya pengangkatan dan penunjukan saja.
2. Pengurus (pada sebagian Koperasi) biasanya mendapat gaji tetap setiap bulannya, padahal kalau mau disebut sebagai pihak pengelola maka pengurus tidak boleh digaji tapi harus bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh sesuai prinsif mudharabah. Oleh karena itu dalam koperasi tidak ada pihak pengelola yang sah menurut syara’, sehingga tidak pernah terjadi syirkah/perseroan, dari sisi ini maka koperasi pun adalah perseroan bathil.

Kedua, keanggotaan koperasi bersifat terbuka , sehingga setiap orang bisa masuk menjadi anggota koperasi setiap saaat dengan syarat-syarat yang berlaku untuk anggota-anggota sebelumnya. Dalam Fiqhuh Sunnah, Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa perseroan menjadi fasakh (batal) jika pelaksananya atau pemilik modalnya meninggal dunia. Oleh karena itu untyuk melanjutkan perseroan haruis ada izin dari ahli warisnya, berarti harus ada aqad baru.. Kondisi ini sama halnya ketika akan masuk pesero baru berarti harus terjadi aqad yang baru. Sedangkan ini tidak terjadi pada koperasi.
Ketiga, membagikan laba (Sisa Hasil Usaha) kepada anggota tidak berdasarkan modal tapi berdasarkan keaktifan anggota dalam memanfaatkan produk atau jasa koperasi (misalnya pembelian atau pinjaman terhadap koperasi). Hal tersebut tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena menurut syariat Islam tentang pembagian laba, apabila perseroan tersebut terjadi pada modal maka labanya haruis mengikuti modal sedangkan jika perseroan terjadi pada pekerjaaan maka labanya harus mengikuti pekerjaan atau jika perseroan terjadi pada keduanya maka pemabagian labapun mengikuti keduanya .Adapun prosentasenya sesuai dengan kesepakatan diantara yang terlibat dalam perseroan, sedangkan kerugian hanya kembali kepada pemodal, sementara pengelola tidak menanggung kerugian. Hal ini didasarkan pada HR. Abdurrazak didalam kitab al jami dari Ali Ra, yang mengatakan :”Pungutan itu tergantung pada kekayaan (prosentasenya). Sedangkan laba tergantung pada apa yang mereka sepakati bersama (prosentasenya)”.Oleh karena itu pembagian laba berdasarkan keaktifan anggota dalam memanfaatkan koperasi (menjadi pembeli atau pemasok barang ke koperasi) tidak dperbolehkan.


Khatimah
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa kopersai merupakan perseroan seperti halnya perseroan-perseroan lainnya dalam sistem kapitalisme yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu haram bagi kaum muslimin untuk mendirikan, menjadi anggota ataupun menyebarkan koperasi, sehingga salah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara syara’ kalau ada yang berpendapat bahwa koperasi adalah sistem Ekonomi Islam hanya karena dalam koperasi ada unsur gotong royong dan kemerataaan. Sama salahnya ketika orang mengatakan bahwa demokrasi sesuai dengan ajaran islam hanya karena dalam islam ddiperintahkan untuk bermusyawarah dalam hal yang mubah.
Islam sebagai suatu sistem kehidupan telah menjelaskan secara khas dan rinci bagaimana mengatasi masalah ekonomi denga sistem yang khas yang tercantum dalam Al-qur’an dan hadist Rasullulah Muhammad SAW, untuk membangun peradaban dan masyarakat islam di madinah dan kemudian di lanjutkan oleh para khulafaurrasyiddin dan para khalifah setelahnya , sehingga mampu mewujudkan kesejahtraaan dan kebahagiaan bagi umat manusia yang belum pernah dirasakan oleh sistem selain sistem Islam. Dan yang perlu kita pahami bahwa sisitem ekonomi merupakan bagian dari sistem kehidupan , oleh karena itu untuk mewujudkan sistem ekonomi Islam hanya terwujud jika sistem kehidupan yang lainnya (sistem politik, sistem sosial, dan sistem hukum dan pemerintahan) didasarkan pada syariat Islam dan ini akan terwujud secara sempurna kalau ada khilafah Islam ditengah-tengah umat yang menjalakan syariat Islam.


Daftar Rujukan

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut: Darul Ummah.
Antonio, M. Syafi'i. 1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia & Tazkia Institute.
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Al-Fiqh 'alâ al-Madzâhib al-Arba'ah. Juz III. Cetakan I. Beirut: Darul Fikr.
Al-Khayyath, Abdul Aziz. 1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn al-Wâdh‘i. Beirut: Mua'ssasah ar-Risalah.
----------. 1989. Asy-Syarîkât fî Dhaw' al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. :Darus Salam.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1984. Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan III. Damaskus: Darul Fikr.
Muhsin Sulaiman, Thahir, _____, Mennggulangi Krisis ekonomi Dalam Islam
Prof, dr Soewardi,Ir, _______, Nalar: Kontempalasi dan Realita
Sayyid Sabiq, __________, Fiqhus Sunnah
Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Vogel, Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance: Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.

Tidak ada komentar: