Selasa, 19 Mei 2009

HUKUM MLM

Hukum Ikut MLM
Soal : Di tengah himpitan krisis ekonomi yang parah, menjadi anggota MLM menarik minat banyak ora. Harapan kaya mendadak serta mendapatkan pasif income menjadi daya tarik. Bagaimana pandangan Islam tentang MLM? Apakah kita boleh menjadi anggota MLM?

Jawab :
Pengantar
Multilevel marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (tracking centre owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktek yang digunakan adalah praktek multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktek pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya.
Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) —ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor— kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk. Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung. Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan. Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member.
Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) —sebagaimana istilah mereka— yang dilakukan terhadap orang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain. Seorang member/distributor harus menseponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang menseponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan. Sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
Fakta Umum Multilevel Marketing
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing —sebagai bisnis pemasaran— tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan –istilah lainnya komisi kepemimpinan. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest. Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, perusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, —istilah lainnya sponsor, promotor— namun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran).
Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi: (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara —melalui perekrutan yang telah dia lakukan— bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktek yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam prakteknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengan sejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktek multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsar (makelar), baik bagi pemilik (malik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadits Nabis Saw, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan:
“Nabi Saw, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian.”*1)
Dalam hal ini, asy-Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan:
Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.”*2)
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu aqad.
2. Hadits dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan:
“Rasululllah Saw telah melarang dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*3)
Hadits yang senada dikemukan oleh at-Thabrani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut:
“Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (aqad) dalam satu kesepakatan (aqad).”*4)
Maksud hadits ini sama dengan hadits yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah Saw, dengan tegas melarang praktek dua akad (kesepakatan) dalam satu aqad (kesepakatan).
3. Hadits Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi:
“Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli.”*5)
Hadits ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadits sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadits yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi —penganut mazhab Hanafi— bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadits tersebut.*6)
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz naha (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadits tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya.
Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai:
Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.*7)
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan: “Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta”, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan: “Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta”, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’.
Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara: zat (barang atau benda) atau jasa (manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya bathil.
Adapun praktek pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadits Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan:
“Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah Saw keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: ‘Wahai para tujjar (bentuk plural dari tajir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah’.”*8)
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadits ini adalah:
”Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.”*9)
Ulama’ penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan:
“Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu —dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didahmmah dalnya, dalul(an), atau dululat(an)— jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.”*10)
Dari batasan-batasn tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua Akad Dan Makelar Dalam Praktek MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member —apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain— disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengan cara merekrut orang, maka praktek MLM seperti ini, jelar termasuk dalam kategori hadits: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktek seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadits di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktek ini juga termasuk dalam kategori shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk –meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskon dalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktekkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktek ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktek samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktek samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, prakteknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang dikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya —apakah halal ataukah haram— maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram.
Namun, jika ada MLM yang produknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?!
Hafidz Abdurrahman

Hukum Aqiqah Setelah Dewasa

HUKUM AQIQAH SETELAH DEWASA
Tanya :
Kalau kita dulu waktu lahir belum diaqiqahi, wajibkah aqiqah ketika kita dewasa selagi mampu?
Jawab :
Ada 2 (dua) pendapat fuqaha dalam masalah aqiqah setelah dewasa (baligh). Pertama, pendapat beberapa tabi'in, yaitu 'Atha`, Al-Hasan Al-Bashri, dan Ibnu Sirin, juga pendapat Imam Syafi'i, Imam Al-Qaffal asy-Syasyi (mazhab Syafi'i), dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan (mustahab) mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Dalilnya adalah hadis riwayat Anas RA bahwa Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah nubuwwah (diangkat sebagai nabi). (HR Baihaqi; As-Sunan Al-Kubra, 9/300; Mushannaf Abdur Razaq, no 7960; Thabrani dalam Al-Mu'jam al-Ausath no 1006; Thahawi dalam Musykil Al-Atsar no 883).
Kedua, pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil. (Hisamuddin 'Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-'Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-'Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44).
Dari penjelasan di atas, nampak sumber perbedaan pendapat yang utama adalah perbedaan penilaian terhadap hadis Anas RA. Sebagian ulama melemahkan hadis tersebut, seperti Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani (Fathul Bari, 12/12), Imam Ibnu Abdil Barr (Al-Istidzkar, 15/376), Imam Dzahabi (Mizan Al-I'tidal, 2/500), Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah (Tuhfatul Wadud, hlm. 88), dan Imam Nawawi (Al-Majmu', 8/432). Imam Nawawi berkata,"Hadis ini hadis batil," karena menurut beliau di antara periwayat hadisnya terdapat Abdullah bin Muharrir yang disepakati kelemahannya. (Al-Majmu', 8/432).
Namun, Nashiruddin Al-Albani telah meneliti ulang hadis tersebut dan menilainya sebagai hadis sahih. (As-Silsilah al-Shahihah, no 2726). Menurut Al-Albani, hadis Anas RA ternyata mempunyai dua isnad (jalur periwayatan). Pertama, dari Abdullah bin Muharrir, dari Qatadah, dari Anas RA. Jalur inilah yang dinilai lemah karena ada Abdullah bin Muharrir. Kedua, dari Al-Haitsam bin Jamil, dari Abdullah bin Al-Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas RA. Jalur kedua ini oleh Al-Albani dianggap jalur periwayatan yang baik (isnaduhu hasan), sejalan dengan penilaian Imam Al-Haitsami dalam Majma' Az-Zawa`id (4/59).
Terkait penilaian sanad hadis, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan lemahnya satu sanad dari suatu hadis, tidak berarti hadis itu lemah secara mutlak. Sebab bisa jadi hadis itu mempunyai sanad lain, kecuali jika ahli hadis menyatakan hadis itu tidak diriwayatkan kecuali melalui satu sanad saja. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, 1/345).
Berdasarkan ini, kami cenderung pada pendapat pertama, yaitu orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, disunnahkan mengaqiqahi dirinya sendiri setelah dewasa. Sebab dalil yang mendasarinya (hadis Anas RA), merupakan hadis sahih, mengingat ada jalur periwayatan lain yang sahih. Wallahu a'lam. [ ]
Yogyakarta, 11 Mei 2009
Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Hukum Nyanyian

HUKUM MENYANYI DAN MUSIK
DALAM FIQIH ISLAM

1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekulerisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekulerisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad diin, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekulerisme menurut Taqiyuddin An-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (An-Nabhani, 2001:25). Dengan demikian, sekulerisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.
2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Al-Baghdadi, 1991 : 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dll) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. (Al-Baghdadi, 1991 : 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3.Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu :
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina`).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian (sama’ al-ghina`).
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Al-Jaziri, 1999 : 41-42; Asy-Syuwaiki, t.t. : 96; Al-Baghdadi, 1991 : 21-25; Omar, 1984 : 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (Al-Ghina`/At-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina`/at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh Al-Ustadz Muhammad Al-Marzuq Bin Abdul Mu’min Al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab “Fi Bayani Tahrimi Al-Ghina` wa Tahrim Istima’ Lahu” (Musik. www.ashifnet.tripod.com), juga oleh Ustadz Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (1991 : 27-38), dan Muhammad Asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas (t.t. : 97-101) :
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian :
a. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Luqman : 6, artinya ”Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS An-Najm : 59-61, dan QS Al-Isra` : 64 (Al-Jazairi, 1992 : 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma`azif).”
c. Hadits Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda: ”Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”
e. Hadits dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian :
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah: 87; artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

b. Hadits dari Nafi’ RA, katanya: “Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar RA. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu ?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW.”
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra ber-kata; “Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata; “Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
d. Dari Aisyah RA; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda; “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.”
e. Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata; “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah SAW)”
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam Asy-Syafi mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi SAW ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Asy-Syaukani, t.t. : 275).
Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih :
Al-‘amal bi ad-dalilaini --walaw min wajhin-- awlaa min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil –walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Abdullah, 1995 : 390)

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan :
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal laa al-ihmal
“Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (An-Nabhani, 1994 : 239)
Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Al-Baghdadi, 1991 : 63-64; Asy-Syuwaiki, t.t. : 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yaa`), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Al-Baghdadi, 1991 : 64-65; Syuwaiki, t.t. : 103).

3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ Al-Ghina`)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina`) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina`). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-`aal (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘aal jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘aal jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘aal jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan :
Al-ashlu fi al-af’aal al-jibiliyah al-ibahah
“Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Asy Syuwaiki, t.t. : 96).
Maka dari itu, melihat –sebagai perbuatan jibiliyyah—hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan,”Saya akan membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman. “ (HR. Imam Muslim, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah ).
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ Al-Ghina`)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama` al-ghina`). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina`). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina`) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina`, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina`) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina`) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Allah SWT berfirman (artinya) :
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (QS An-Nisaa` : 140)
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (QS Al-An’aam : 68).

3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya ? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi SAW :
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (Al-Jazairi, 1992 : 52; Omar, 1983 : 24)
Adapun selain alat musik ad-duff/al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam An-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy dalam Fathul Mugits, Ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Al-Albani dalam kitabnya Dha’if Al-Adab Al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’.
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, Juz VI, hal. 59 mengatakan :
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, 1991 : 57)
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah. (Al-Baghdadi, 1991 : 74).
b. Mendengarkan Musik di Radio, TV, dan Semisalnya
Menurut Al-Baghdadi (1991 : 74-76) dan Asy-Syuwaiki (t.t. : 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yaa`) –dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya-- yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan :
Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim
“Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Al-Baghdadi, 1991 : 76)
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan :
Al-wasilah ila al-haram haram
“Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (An-Nabhani, 1963 : 86)

4. Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami) :
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya :
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr/ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah :
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi :
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi :
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dsb) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
c) Mencela Allah, Rasul-Nya, Al-Qur`an.
d) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
e) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dsb).
f) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi –walau pun cuma secuil—dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullahi. Amin. [ ]
Wallahu A’lam Bis-Shawab.
DAFTAR BACAAN

Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
----------.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. www.alsofwah.or.id
Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? www.sidogiri.com
Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. www.syariahonline.com
Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. www.pesantrenvirtual.com
“Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. www.ashifnet.tripod.com

Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. www.ummigroup.co.id
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah).

SURGA DI DEKATKAN

KEPADA SIAPA SURGA DI DEKATKAN ?
Disampaikan Oleh : M.Ihsan Azhari,S.Pd.I

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ (31) هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ (32) مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
(33
Allah berfirman: "Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Kepada orang-orang yang bertakwa dan berbakti ini) dikatakan: "Masuklah dengan damai, itu adalah hari kekekalan " (Qaaf: 31 - 34)

Keterangan dan kandungan ayat:
{ وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ } أي: قربت بحيث تشاهد وينظر ما فيها، من النعيم المقيم، والحبرة والسرور، وإنما أزلفت وقربت، لأجل المتقين لربهم، التاركين للشرك، صغيره وكبيره ،

Firman Allah ta'ala "Dan didekatkanlah surga itu" maksudnya: Didekatkan jaraknya sehingga semua nikmat dan kesenangannya yang kekal dapat dilihat dengan kasat mata. Yaitu kepada mereka yang bertakwa dan mentaati semua perintahNya, yang meninggalkan segala bentuk syirik, baik kecil maupun besar.

{ هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ } أي: هذه الجنة وما فيها، مما تشتهيه الأنفس، وتلذ الأعين، هي التي وعد الله كل أواب أي:
Maksud firman Allah: "Inilah yang dijanjikan kepadamu": adalah bahwa surga dan segala bentuk kesenangan yang diinginkan setiap diri, dan menyejukkan mata yang memandang yang ada di dalamnya adalah hal yang dijanjikan Allah kepada yang memiliki sifat-sifat berikut:
رجاع إلى الله، في جميع الأوقات، بذكره وحبه، والاستعانة به، ودعائه، وخوفه، ورجائه.
1. Selalu kembali kepada Allah pada setiap waktu dengan mengingat-Nya, mencintai-Nya, meminta tolong kepada-Nya, berdoa, takut, dan berharap kepada-Nya.

{ حَفِيظٍ } أي: يحافظ على ما أمر الله به، بامتثاله على وجه الإخلاص والإكمال له، على أكمل الوجوه، حفيظ لحدوده.
2. Memelihara semua apa yang diperintahkan Allah, dengan melaksanakannya secara ikhlas, dan menyempurnakannya sesempurna mungkin, dan menjaga hukum-hukumnya.

{ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ } أي: خافه على وجه المعرفة بربه، والرجاء لرحمته ولازم على خشية الله في حال غيبه أي: مغيبه عن أعين الناس، وهذه هي الخشية الحقيقية، وأما خشيته في حال نظر الناس وحضورهم، فقد تكون رياء وسمعة، فلا تدل على الخشية، وإنما الخشية النافعة، خشية الله في الغيب والشهادة ويحتمل أن المراد بخشية الله بالغيب كالمراد بالإيمان بالغيب

3. Takut kepada Yang Maha Pemurah ketika jauh penglihatan manusia: Yaitu takut kepada-Nya karena ma'rifahnya tentang Tuhannya, berharap kasih sayang-Nya, dan tetap melakukan semua itu pada saat sepi tidak dilihat oleh orang lain. Inilah takut yang sebenarnya. Adapun takut pada saat dilihat orang banyak bisa jadi hanya karena riya dan sum'ah. Tetapi ada kemungkinan yang dimaksud takut kepada Allah dalam keadaan gaib ini berarti seperti beriman kepada hal-hal gaib yang lain.

{ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ } أي: وصفه الإنابة إلى مولاه، وانجذاب دواعيه إلى مراضيه، ويقال لهؤلاء الأتقياء الأبرار: { ادْخُلُوهَا بِسَلامٍ } أي: دخولا مقرونًا بالسلامة من الآفات والشرور، مأمونًا فيه جميع مكاره الأمور، فلا انقطاع لنعيمهم، ولا كدر ولا تنغيص، { ذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ
}
4. Yang datang kepada TuhanNya dengan hati penuh taubat dan segala keinginannya selalu tertuju kepada keridaanNya. Kepada orang-orang yang bertakwa dan berbakti ini dikatakan: "Masuklah dengan damai, itu adalah hari kekekalan..


تفسير السعدي - (ج 1 / ص 806)
المحقق : عبد الرحمن بن معلا اللويحق
الناشر : مؤسسة الرسالة
الطبعة : الأولى 1420هـ -2000 م

Mengabaikan Al Qur'an

MENGABAIKAN AL QUR’AN
Disampaikan Oleh : M.Ihsan Azhari,S.Pd.I

{ وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا (30) وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
(QS.Al Furqon:30-31)

Makna Ayat ke-30

 Ayat di atas menceritakan pengaduan Rasulullah saw. kepada Allah Swt. tentang sikap dan perilaku kaumnya terhadap al-Quran
وذلك أن المشركين كانوا لا يُصغُون للقرآن ولا يسمعونه ، كما قال تعالى: { وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ } [ فصلت : 26] وكانوا إذا تلي عليهم القرآن أكثروا اللغط والكلام في غيره، حتى لا يسمعوه فهذا من هجرانه { تفسير ابن كثير، المحقق : سامي بن محمد سلامة- ج 6 / ص 108}
 ayat ini juga mengancam orang yang berpaling darinya secara umum, baik yang tidak mengamalkannya maupun yang tidak mengambil adabnya.
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”
أصول السرخسي - (ج 1 / ص 164, البحر المحيط - (ج 4 / ص 20.
Makna al hajr

 Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an]. Mahjûr[an] merupakan bentuk maf‘ûl, berasal dari al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor seperti tuduhan al-Quran adalah sihir, syair, atau dongengan orang-orang terdahulu (QS al-Anfal [8]: 31.
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آَيَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَاءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَذَا إِنْ هَذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala."”
LIhat pernyataan mufassir Al Khazin dibawah:
وقيل جعلوه بمنزلة الهجر وهو السيىء من القول فزعموا أنه سحر وشعر -
dikatakan juga dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang dicaci, seperti mengatakannya sebagai sihir dan sya’ir”
تفسير الخازن - لباب التأويل في معاني التنزيل - ج 5 / ص31
 Bisa juga berasal dari al-hajr yakni at-tark (meninggalkan, mengabaikan, atau tidak mempedulikan, tidak mengimaninya dll.
{ وقال الرسول } يعني ويقول الرسول في ذلك اليوم { يا رب إن قومي اتخذوا هذا القرآن مهجوراً } أي متروكاً وأعرضوا عنه ، ولم يؤمنوا به ولم يعملوا بما فيه{ تفسير الخازن - لباب التأويل في معاني التنزيل - ج 5 / ص31}
{(Dan Rasul berkata) yakni mengtakan pada hari itu (Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al Qur’an ini sebagai sesuatu yang diabaikan) maksudnya meninggalkannya, berpaling darinya, tidak beriman terhadapnya, tidak beramal terhadap perintah yang ada didalamnya…… }

Makna Ayat ke-31

 Ayat berikutnya itu merupakan tasliyah (untuk menghibur hati) Rasulullah saw. supaya tidak terlalu bersedih. Sebab, hal yang sama juga dialami oleh nabi-nabi sebelumnya. Ayat ini juga memerintahkan Nabi saw. untuk bersabar dan tetap teguh menyampaikan risalah-Nya.
وقوله:( وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ ) يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: وكما جعلنا لك يا محمد أعداء من مشركي قومك، كذلك جعلنا لكل من نبأناه من قبلك عدوّا من مشركي قومه، فلم تخصص بذلك من بينهم. يقول: فاصبر لما نالك منهم كما صبر من قبلك أولو العزم من رسلنا
{ تفسير الطبري - ج 19 / ص 265}
أي: كما حصل لك -يا محمد -في قومك من الذين هجروا القرآن، كذلك كان في الأمم الماضين؛ لأن الله جعل لكل نبي عدوا من المجرمين، يدعون الناس إلى ضلالهم وكفرهم، كما قال تعالى{ وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ وَلِتَصْغَى إِلَيْهِ أَفْئِدَةُ الَّذِينَ لا يُؤْمِنُونَ بِالآخِرَةِ وَلِيَرْضَوْهُ وَلِيَقْتَرِفُوا مَا هُمْ مُقْتَرِفُونَ } [ الأنعام : 112 -113
تفسير ابن كثير - (ج 6 / ص 109] } }
‘Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan itu, mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan. (TQS.Al An’am:112-113)

 Ayat itu juga sebagai ta‘zhîm li as-syikâyah (bentuk pengagungan terhadap pengaduan) Rasulullah saw. sekaligus takhwîf li qawmih (memberikan rasa takut terhadap kaumnya). Sebab, jika para nabi telah menyerahkan (suatu urusan) kepada Allah Swt. dan mengadukan kaum mereka kepada-Nya, berarti telah halal azab atas mereka.

 Dengan demikian, beberapa sikap dan perilaku yang dapat dikategorikan sebagai mengabaikan dan meninggalkan al-Quran, adalah:

1) menolak untuk mengimani dan membenarkannya;
2) tidak mau mendengarkan dan membacanya;
3) tidak berusaha men-tadabburi, mengkaji, dan memahami kandungannya;
4) tidak mau mengamalkan isinya, termasuk enggan menerapkan hukum-hukumnya; baik dalam kehidupan individu, masyarakat, maupun negara

AL-QUR’AN: HIDAYAH DAN SUMBER HUKUM

AL-QUR’AN: HIDAYAH DAN SUMBER HUKUM
Disampaikan Oleh : Jilan Nasywa.Hanifah,S.Pd.I

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil.
(QS al-Baqarah [2]: 185).


Ali ash-Shabuni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Layl Mubârakah (Malam yang Diberikahi) adalah malam yang sangat agung dan mulia, yaitu Lailatul Qadar, yang terdapat pada bulan yang penuh berkah (bulan Ramadhan). (Ali ash-Shabuni, Shafwaât al-Tafâsir, juz III, hlm.170. )
 Sebagaimana terdapat dalam surat al Qadr:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْر
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar).” (QS al-Qadr [97]: 1).

 Ayat ini juga menjelaskan fungsi al-Quran sebagai هُدًى لِلنَّاسِ hudan li an-nâs (petunjuk bagi manusia), وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى bayyinât min al-hudâ (penjelas), dan الْفُرْقَانِ al-furqân (pemisah/pembeda).

Makna hudan li an-nas wa bayyinat min al-huda wa al-furqan adalah sebagai berikut:

أي بيانا لهم وإرشادا. والمراد القرآن بجملته من محكم ومتشابه وناسخ ومنسوخ، ثم شرف بالذكر والتخصيص البينات منه، يعني الحلال والحرام والمواعظ والاحكام." وبينات" جمع بينة، من بان الشئ يبين إذا وضح. " والفرقان " ما فرق بين الحق والباطل، أي فصل

“Frasa hudan li an-nâs juga bermakna rasyâdan li an-nâs ilâ sabîl al-haq wa qashd al-manhaj (petunjuk kepada umat manusia menuju jalan kebenaran dan metode yang lurus); bayyinât min al-hudâ bermakna wâdlihât min al-hudâ (petunjuk-petunjuk yang sangat jelas), artinya bagian dari petunjuk yang menjelaskan tentang hudûd Allah, farâ’idh-Nya, serta halal dan haram-Nya; al-furqân bermakna al-fashl bayn al-haq wa al-bâthil (pemisah antara kebenaran dan kebathilan). (Al-Qurthuby, Tafsir al Al-Qurthuby, QS al-Baqarah (2): 185. ).

 Makna semacam ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dari al-Suddi (yang artinya), “Maksud dari firman Allah Swt. wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân adalah bayyinât min al-halâl wa al-harâm. (penjelasan yang menjelaskan halal dan haram).”

 Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah Swt. telah memuliakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain. Sebab, pada bulan itu Allah Swt. menurunkan al-Quran yang berisikan petunjuk, penjelasan, serta pemisah antara yang haq dan yang batil. Tidak hanya itu, al-Quran juga adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum Muslim yang tidak boleh diingkari dan diacuhkan.
 Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata, “Barangsiapa tidak mau membaca al-Quran berarti ia mengacuhkannya; barangsiapa membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya berarti ia juga mengacuhkannya; barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya tetapi tidak mau mengamalkan isinya berarti ia mengacuhkannya.”

 Macam-Macam Hidayah:
• Hidayah Kholqi(penciptaan)
• Hidayah Bayan wal irsyad
• Hidayah taufik

Tafsir Surat Tooha ayat 123-126

Tafsir Surat Tooha ayat 123-126
Disampaikan Oleh : M.Ihsan Azhari,S.Pd.I

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى (123) وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126
Artinya:
123. Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan" Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. 124. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".125. Berkatalah ia: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?" 126. Allah berfirman: "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu


1. Penjelasan tentang siapakah yang diusir dan yang bermusuhan?
• Pendapat pertama mengatakan yang diusir adalah Adam dan Hawa (mencakup keturunannya). Adapun yang bersengketa adalah antar manusia itu sendiri , Sebagaimana penjelasan dalam tafsir jalalain:
{ قَالَ اهبطا } أي آدم وحوّاء بما اشتملتما عليه من ذرّيتكما { مِنْهَا } من الجنة {جَمِيعاً بَعْضُكُمْ } بعض الذرية { لِبَعْضٍ عَدُوٌّ } من ظلم بعضهم بعضاً
*تفسير الجلالين): المحلي والسيوطي (-ج 5 / ص 470

• Pendapat kedua mengatakan yang diusir adalah Adam dan Hawa (mencakup keturunannya). Adapun yang bersengketa dan bermusuhan adalah antar manusia dan keturunananya dengan iblis beserta keturunanya, Sebagaimana penjelasan dalam tafsir At Thobary:
يقول تعالى ذكره: قال الله تعالى لآدم وحوّاء( اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا) إِلَى الأرْضِ (بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ) يقول: أنتما عدوّ إبليس وذرّيته، وإبليس عدوّكما وعدوّ
ذرّيتكما. *{ تفسير الطبري - (ج 18 / ص 389) }

Catatan:
Dalam beberapa ayat, seruan kepada Adam dan Hawa itu menggunakan kata ganti jamak: Qâla [i]hbithû (QS al-Baqarah [2]: 36, 38, dan al-A’raf [7]: 24).

• Pendapat ketiga mengatakan yang diusir adalah dua kelompok, yaitu kelompok Adam beserta keturunanya dan kelompok iblis beserta keturunanya. Adapun yang bersengketa dan bermusuhan adalah antar manusia dan keturunananya dengan iblis beserta keturunanya, Sebagaimana penjelasan dalam tafsir Ar Roji dan Al Baqo’i:

{ اهبطا } ، إما أن يكون خطاباً مع شخصين أو أكثر فإن كان خطاباً لشخصين فكيف قال بعده : { فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مّنّى هُدًى } وهو خطاب الجمع وإن كان خطاباً لأكثر من شخصين فكيف قال : { اهبطا } وذكروا في جوابه وجوهاً : أحدها : قال أبو مسلم : الخطاب لآدم ومعه ذريته ولإبليس ومعه ذريته فلكونهما جنسين صح
{فخر الدين الرازي- تفسير الرازي - (ج 10 / ص483 }

{ اهبطا منها } أيها الفريقان : آدم وتبعه ، وإبليس { جميعاً } .
نظم الدرر للبقاعي - (ج 5 / ص 275(
2. Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan petunjuk itu dan balasan bagi yang mengikutinya atau mengingkarinya.

{ فَإِمَّا } فيه إدغام نون «إن» الشرطية في «ما» المزيدة { يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّى هُدًى فَمَنِ اتبع هُدَاىَ } أي القرآن { فَلاَ يَضِلُّ } في الدنيا { وَلاَ يشقى } في الآخرة .
*تفسير الجلالين): المحلي والسيوطي (-ج 5 / ص 470

: { فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مّنّى هُدًى } الخ أي بنبي أرسله اليكم وكتاب أنزله عليكم { فَمَنِ اتبع هُدَاىَ } وضع الظاهر موضع المضمر مع الإضافة إلى ضميره تعالى لتشريفه والمبالغة في إيجاب اتباعه . وأخرج الطبراني . وغيره عن أبي الطفيل أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ { فَمَنِ اتبع * هُدًى } { فَلاَ يَضِلّ} في الدنيا { وَلاَ يشقى } في الآخرة ،
*{تفسير الألوسي - (ج 12 / ص 293 ( }
.
{ هُدًى } كتاب وشريعة . وعن ابن عباس : ضمن الله لمن اتبع القرآن أن لا يضل في الدنيا ولا يشقى في الآخرة ، ثم تلا قوله : { فَمَنِ اتبع هُدَاىَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يشقى } والمعنى أن الشقاء في الآخرة هو عقاب من ضلّ في الدنيا عن طريق الدين فمن اتبع كتاب الله وامتثل أوامره وانتهى عن نواهيه نجا من الضلال ومن عقابه .
- الكشاف (ج 4 / ص187 } { الزمخشري



Catatan:

o Al-Quran menyebut para nabi sebagai hâd[in]/pemberi petunjuk (QS ar-Ra‘d [13]: 7). Al-Quran merupakan huda[n] li al-nâs/petunjuk bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 185). Dipastikan, Rasulullah saw. menunjuki manusia ke jalan yang lurus. (QS asy-Syura [42]: 52).
o Rosulullah SAW telah bersabda:
«تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ»
Aku meninggalkan untuk kalian dua perkara dan kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. (HR al-Hakim).


3. Penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan penghidupan yang sempit dan tentang pengertian buta.
{ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى } أي القرآن فلم يؤمن به { فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً } بالتنوين مصدر بمعنى ضيقة ، وفُسِّرت في حديث بعذاب الكافر في قبره {وَنَحْشُرُهُ} أي المعرض عن القرآن { يَوْمَ القيامة أعمى } أي أعمى البصر .
تفسير الجلالين - (ج 5 / ص 471)

وقيل : المراد : العمى عن الحجة . وقيل : أعمى عن جهات الخير لا يهتدي إلى شيء منها . { الشوكاني- فتح القدير - (ج 5 / ص 34}

{ وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى } أي عن ديني ، وتلاوة كتابي ، والعمل بما فيه ، ولم يتبع هداي { فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً } أي فإن له في هذه الدنيا معيشة ضنكاً ، أي عيشاً ضيقاً . يقال : منزل ضنك وعيش ضنك ،
{ الشوكاني- فتح القدير - (ج 5 / ص 34}
{ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى } البصر على الصحيح، كما قال تعالى: { وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا } . . (QS al-Isra’ [17]: 97
{ تفسير السعدي - (ج 1 / ص 515}

{ قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِى أعمى وَقَدْ كُنتُ بَصِيراً } في الدنيا وعند البعث؟ . { قَالَ } الأمر { كذلك أَتَتْكَ ءاياتنا فَنَسِيتَهَا } تركتها ولم تؤمن بها { وكذلك } مثل نسيانك آياتنا { اليوم تنسى } تترك في النار .
{ تفسير الجلالين - (ج 5 / ص 473}



4. Syariat: Penentu Nasib Manusia

• Nasib manusia—di dunia maupun di akhirat—amat ditentukan oleh penyikapannya terhadap dînullâh. Siapa pun yang bersedia tunduk dan patuh terhadapnya, hidupnya pasti berjalan di atas petunjuk dan kebenaran. Dia akan memperoleh ketenteraman, kebahagiaan, dan keberuntungan. Sebaliknya, orang yang berpaling dan tidak mau mengikuti petunjuk-Nya akan terjerembab dalam kesesatan, terus dibelit aneka problem, dan senantiasa bergelimang derita. Lebih dari itu, kelak di akhirat dia akan mendapatkan siksaan yang tiada tara. Kisah Adam dan Hawa seputar ayat di atas dan kisah kesudahan umat-umat terdahulu lebih dari cukup untuk menjadi pelajaran bagi manusia, kecuali bagi orang yang sombong dan pembangkang, pengikut setan.
• Selain dua ayat di atas, banyak ayat lainnya yang menunjukkan korelasi pasti antara nasib manusia dan penyikapannya terhadap dînullâh itu. Tidak hanya di akhirat, di dunia pun orang yang beriman dan menaati syariat-Nya dijanjikan anugerah kehidupan yang baik.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
Siapa saja yang mengerjakan amal salih—baik laki-laki maupun perempuan—dalam keadaan beriman sesungguhnya akan Kami beri kehidupan yang baik. (QS al-Nahl [16]: 97).

• Bahkan Allah Swt berjanji akan melimpahkan dan membukakan berkah-Nya dari langit dan bumi kepada penduduk negeri yang beriman dan bertakwa (QS al-A‘raf [7]: 96). Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari kebenaran dîn-Nya dan menolak untuk menaati-Nya, hidupnya akan diliputi kehinaan dan kenistaan.


5. Khilafah adalah keharusan

وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا
*{مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج - ج 16 / ص 287}

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية فإن لم يكن من يصلح إلا وأحد تعين عليه ولزمه طلبها إن لم يبتدئوه والله أعلم.
*{روضة الطالبين وعمدة المفتين - (ج 3 / ص 433) النووي}