Selasa, 17 Maret 2009

Risalah Aqiqah

Ditulis dari berbagai sumber untuk keponakanku tersayang

TA’ARUF (Perkenalan)

Perkenalkan, Muhammad Syahdan Habiburrahman, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Kalau nama nasabku Muhammad Syahdan Habiburrahman bin Ma’mun Fahrizal bin Muchtar bin Samblun. Aku lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Februari 2009 tepat pukul 23.23 di RS Melati, Tangerang . Saat aku lahir beratku 2,80 kg loh dan tinggiku 45 cm. Aku anak kedua dari bunda Ita dan Ayah Ma’mun.
Makna sebuah nama …
“Apalah arti sebuah nama”, begitulah ungkapan dari Shakespeare yang begitu sering terdengar di masyarakat. Konsekuensinya nama hanyalah sebagai panggilan/identitas yang membedakan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sehingga seringkali dalam pemberian sebuah nama yang dicari adalah lebih karena keunikannya bukan makna yang terkandung di dalamnya.
Namun bagi kami – dan sebagian besar orang Indonesia – nama bermakna doa atau cita-cita. Sehingga setiap panggilan terhadapnya merupakan doa baginya dan setiap mengingat namanya maka mengingatkan akan cita-cita kehadirannya ke dunia.
Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Sesungguhnya kalian akan diseru pada hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian, maka perbaguslah nama kalian”. (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Nabi Muhammad Saw pun pernah mengganti nama yang tidak bagus, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Umar ra: “Sesungguhnya putri Umar diberi nama ‘Ashiyah (yang berdosa), maka Rasulullah saw mengganti namanya dengan Jamilah (cantik).” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Nama Muhammad Syahdan Habiburrahman diilhami oleh seorang sosok nabi yang mulia Baginda Muhammad SAW, dengan harapan ittiba, mahabbah dan barokahnya maka kami beri nama depan anak kami Muhammad. Mudah-mudahan kelak menjadi generasi penerus risalah –Nya. Syahdan bermakna persaksian yang teguh, harapannya mudah-mudahan kelak anak kami menjadi anak yang bersaksi atas kalimah Laa ilaaha illallah Muhammadar rasulullah,berjuang diatasnya, hidup dan matinya demi dan untuk Laa ilaaha illallah Muhammadar rasulullah. Ia jalani persaksian teguh tersebut dengan penuh cinta dan penghambaan kepada Allah dan mencurahkan kasih sayangnya kepada sesama, dengan harapan itu maka beri nama akhir anak kami habiburrahman.
Semoga kelak anak kami menjadi pemimpin ummat yang terbaik di masanya… Amiin
Amin ya rabbal ‘alamin….
Keluarga Ma’mun-Ita
Maret 2009


PENDAHULUAN

UCAPAN SELAMAT UNTUK BAYI YANG BARU LAHIR

“Baarokallohulaka fiil mauhuubilaka, wa syakartal waahiba, wa balagho asyuddahu, wa ruziqta birrohu.”
“Semoga Alloh memberikan keberkahan untuk dirimu atas (karunia) yg diberikan kepadamu. Semoga engkau mensyukuri Yang Maha Memberi hingga sang anak menjadi dewasa dan menjadi anak yang berbakti.”

JAWABANNYA
(atas orang yang mengucapkan doa di atas kepada kita):
“Baarokallohulaka wa baaroka’alaika, wa jazaakallohu khoiron, wa rozaqokallohu mitslahu, wa ajzala tsawaabaka.”

“Semoga Alloh memberikan berkahnya kepadamu dan dalam segala yang engkau miliki. Semoga Alloh membalas untukmu kebaikan yang banyak dan memberikan (karunia) tang sama kepadamu. Semoga Alloh pun berkenan melipat gandakan pahalamu.”

DO’A UNTUK BAYI YANG BARU DILAHIRKAN

”Innii u’iidzuka bikalimaatillaahit taammati min kulli syaythaanin wa haammatin wamin kulli ‘aynin laammatin”

Artinya: ”Aku berlindung untuk anak ini dengan kalimat Allah Yang Sempurna dari segala gangguan syaitan dan gangguan binatang serta gangguan sorotan mata yang dapat membawa akibat buruk bagi apa yang dilihatnya.” (HR. Bukhari)
Menghidupkan Sunnah Nabi saw. dengan ‘Aqiqah

“Barang siapa yang menghidupkan sunnahku disaat terjadi kerusakan pada ummatku maka baginya pahala seseorang yang mati syahid.” (Rasulullah saw.)
Hadits ini menyadarkan kita akan pentingnya kembali pada kehidupan Islami dan menghidupkan sunnah Nabi saw. terutama di saat ummat mulai cenderung dan terpedaya dengan segala gaya hidup yang tidak berasal dari nilai-nilai Islam. Hal tersebut mengakibatkan ummat Islam tidak lagi memiliki jati diri, dan kecintaannya kepada Nabi saw sebagai suri teladan larut sedikit demi sedikit, berganti mengikuti gerak dan gaya masyarakat yang jahiliyah, termasuk dalam menyambut kehadiran anak yang sebenarnya merupakan amanah Allah SWT.

Tulisan ini sekedar mengingatkan akan sebuah sunnah yang dahulu akrab dengan kehidupan kaum muslimin sebagai ummat yang dirahmati dan diberkahi Allah SWT.

Beberapa Hal yang Harus Dilakukan oleh Orang tua Setelah Kelahiran Anaknya

1. Menyuarakan adzan di telinga kanan dan qomat di telinga kiri bayi. Hal ini berdasarkan atas sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dari Abu Rafi’: Aku melihat Rasulullah saw. Menyuarakan adzan pada telinga Al-Hasan bin ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya.

2. Melakukan tahniq, yaitu menggosok langit-langit (mulut bagian atas) dengan kurma yang sudah dilembutkan. Caranya ialah dengan menaruh sebagian kurma yang telah dikunyah pada jari, dan memasukkan jari itu ke dalam mulut bayi, kemudian menggerak-gerakkannya ke kiri dan ke kanan dengan gerakan yang lembut hingga merata di sekeliling langit-langit bayi. Jika kurma sulit di dapat, tahniq ini dapat dilakukan dengan bahan yang manis lainnya, seperti madu atau saripati gula, sebagai pelaksanaan sunnah Nabi saw.

Di dalam Shahihain, terdapat hadits dari Abu Burdah, dari Abu Musa r.a., ia berkata:
Aku telah dikaruniai seorang anak, kemudian aku membawanya kepada Nabi saw. lalu beliau menamakannya Ibrahim, menggosok-gosok langit-langit mulutnya dengan sebuah kurma dan mendo’akannya dengan keberkahan. Setelah itu beliau menyerahkannya kepadaku.

Hikmah dari tahniq ini ialah untuk menguatkan syaraf-syaraf mulut dan gerakan lisan beserta tenggorokan dan dua tulang rahang bawah dengan jilatan, sehingga anak siap untuk menghisap air susu ibunya dengan kuat dan alami. Lebih utama kalau tahniq ini dilakukan oleh ulama/orang yang shalih sebagai penghormatan dan pengharapan agar si bayi menjadi orang yang shalih pula.

3. Mencukur rambut kepala bayi, memberi nama, dan Aqiqah.


RISALAH AQIQAH

Pelaksanaan Aqiqah

Makna Aqiqah
Secara bahasa berasal dari kata Al‐Aqqu yang berarti memotong (Al‐Qoth'u). atau memutus. Dalam istilah syara’ sebagaimana disebutkan dalam kitab Nailul Authaar V:224, bahwa “Aqiqah ialah hewan yang disembelih karena bayi yang dilahirkan, serupa dengan pendapat tersebut Al Ashmu’I berpendapat bahwa: Aqiqah asalnya adalah rambut di kepala anak yang baru lahir. Kambing yang dipotong disebut aqiqah karena rambut anak tersebut dipotong ketika kambing itu disembelih. Singkatnya aqiqah dalam istilah syara’ adalah sembelihan untuk anak yang baru lahir sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT dengan niat dan syarat‐syarat tertentu. Oleh sebagian ulama ia disebut dengan nasikah atau dzabihah (sembelihan).

Pentingnya Aqiqah

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya anak itu diaqiqahi. Maka tumpahkanlah darah baginya dan jauhkanlah penyakit daripadanya (dengan mencukurnya).” (Hadits shahih riwayat Bukhari, dari Salman Bin Amar Adh-Dhabi).
‘Aqiqah adalah tanda syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat anak yang diberikan-Nya. Juga sebagai washilah (sarana) memohon kepada Allah SWT. agar menjaga dan memelihara sang bayi. Dari hadits di atas pula ulama menjelaskan bahwa hukum aqiqah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan) bagi para wali bayi yang mampu, bahkan tetap dianjurkan, sekalipun wali bayi dalam kondisi sulit.
Dianjurkan agar ‘aqiqah itu disembelih atas nama anak yang dilahirkan. Hal ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu al-Mundzir dari ‘Aisyah r.a.: Nabi saw. bersabda: “Sembelihlah atas namanya (anak yang dilahirkan), dan ucapkanlah, ‘Dengan menyebut nama Allah. Ya Allah, bagi-Mu-lah dan kepada-Mu-lah ku persembahkan ‘aqiqah si Fulan ini.”
Akan tetapi, jika orang yang menyembelih itu telah berniat, meskipun tidak menyebutkan nama anak itu, maka tujuannya sudah tercapai.

Hukum aqiqah

Hukum aqiqah itu sendiri menurut kalangan Syafii dan Hambali adalah sunnah muakkadah. Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW. Yang berbunyi, "Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), diberi nama pada hari itu dan dicukur kepalanya ". (HR al‐Tirmidzi, Hasan Shahih)

Jumlah Hewan Aqiqah

Dalam pelaksanaan aqiqah disunahkan untuk memotong dua ekor kambing yang seimbang untuk anak laki‐laki dan satu ekor untuk anak perempuan.

Dari Ummi Kurz Al‐Kabiyyah Ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Bagi anak laki‐laki dua ekor kambing yang sama, sedangkan bagi anak perempuan satu ekor kambing. Dan tidak membahayakan kamu sekalian apakah (sembelihan itu) jantan atau betina”". (HR. Tirmidzy dan Ahmad)


Namun bila tidak memungkinkan, maka boleh saja satu ekor untuk bayi laki‐laki, Hal ini berdasar atas hadits dari Ibnu ‘Abbas r.a.: “Bahwa Rasulullah saw. telah meng’aqiqahi Al-Hasan dan Al-Husain dengan satu ekor biri-biri.” (H.R. Abu Dawud),

Dan riwayat yang menytakan bahwa: “Abdullah bin Umar r.a. telah meng’aqiqahi anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan, satu kambing-satu kambing.” (HR.ImamMalik)

Kewajiban Siapakah ?
Kewajiban bagi si anak yang baru lahir adalah tanggung jawab orang tua yang memikul nafkah anak dari harta sendiri, bukan dari harta si anak. Namun demikian dapat ditunaikan oleh orang lain atas kehendaknya sendiri.Dasarnya adalah hadits yang menyatakan bahwa :“Rasulullah SAW menyembelih Aqiqah Hasan dan Husein masing-masing dua ekor Qibasy” (HR. Nasal).

Waktu Pelaksanaan Aqiqah
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi SAW bersabda, "Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah pada hari ketujuh dan diberi nama". (HR. al‐Tirmidzi).

Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke‐14. Dan jika tidak juga, maka pada hari ke‐21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh) atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT : "Allahmenghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (QS.Al-Baqarah:185)

Hukum Aqiqah Setelah Dewasa/Berkeluarga

Pada dasarnya aqiqah disyariatkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran. Jika tidak bisa, maka pada hari keempat belas. Dan jika tidak bisa pula, maka pada hari kedua puluh satu, dan seterusnya. Selain itu, pelaksanaan aqiqah menjadi beban ayah. Namun demikian, jika ternyata ketika kecil ia belum diaqiqahi, ia bisa melakukan aqiqah sendiri di saat dewasa. Satu ketika al‐Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, "ada orang yang belum diaqiqahi apakah ketika besar ia boleh mengaqiqahi dirinya sendiri?" Imam Ahmad menjawab, "Menurutku, jika ia belum diaqiqahi ketika kecil, maka lebih baik melakukannya sendiri saat dewasa. Aku tidak menganggapnya makruh".

Para pengikut Imam Syafi'i juga berpendapat demikian. Menurut mereka, anak‐anak yang sudah dewasa yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, dianjurkan baginya untuk melakukan aqiqah sendiri.


Daging Aqiqah Lebih Baik Mentah Atau Dimasak?
Dianjurkan agar dagingnya diberikan dalam kondisi sudah dimasak. Hadits Aisyah ra.,"Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki‐laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh". (HR al‐Bayhaqi).


Pengaturan pembagian Daging Aqiqah

Daging Aqiqah dapat dibagi tiga yaitu:
1. Dimakan sendiri.
2. Disedekahkan kepada fakir miskin.
3. Dihadiahkan kepada jiran/tetangga, kenalan dan sebagainya.
Dari pernyataan diatas maka daging selain disedekahkan juga bisa dimakan oleh keluarga yang melakukan aqiqah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra., "Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki‐laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh". (HR al‐Bayhaqi).

Siapakah yang layak menerima daging sembelihan aqiqah ?

Daging aqiqah diberikan kepada tetangga dan fakir miskin juga bisa diberikan kepada orang non‐muslim. Apalagi jika hal itu dimaksudkan untuk menarik simpatinya dan dalam rangka dakwah. Dalilnya adalah firman Allah, "Mereka memberi makan orang miskin, anak yatim, dan tawanan, dengan perasaan senang". (QS. Al‐Insan : 8).

Menurut Ibn Qud_mah, tawanan pada saat itu adalah orang‐orang kafir. Namun demikian, mereka yang paling layak menerima sedekah adalah orang fakir dan miskin dari kalangan umat Islam, begitu juga dengan aqiqah, mereka yang paling layak menerima adalah orang miskin dikalangan umat Islam. Walau bagaimanapun berdasarkan beberapa buah hadis yang telah disebutkan dan amalan Rasulullah dan sahabat kita disunatkan juga memakan sebahagian daripada daging tersebut, bersedekah sebahagian dan menghadiahkan sebahagian lagi.

Tidak boleh menjual daging Aqiqah
Hukum daging Aqiqah sama dengan qurban, yakni tidak boleh menjualnya kepada orang. Karena syariatnya adalah dengan dibagikan.

Jenis Hewan yang dijadikan Aqiqah
Syarat hewan yang boleh disembelih sebagai Aqiqah sama dengan syarat hewan qurban. Jelasnya jika hewan tersebut boleh dan sah dijadikan qurban maka sah pula dijadikan Aqiqah. Syarat itu adalah bahwa tidak boleh disembelih hewan cacat, yang kurus, yang sakit dan yang patah kakinya. Semakin besar dan gemuk serta sehat tentu semakin baik. Sedangkan masalah harus menyentuhkan anak kepada kambing yang akan disembelih untuk aqiqahnya, jelas tidak ada dasarnya. Barangkali hanya sebuah kebiasaan saja.

Aqiqah haruskah hewan jantan?

Baik dalam aqiqah maupun udhiyah (kurban) tidak ada persyaratan bahwa hewannya harus jantan atau betina. Keduanya bisa dijadikan sebagai hewan aqiqah atau kurban. Berdasarkan hadits:, “… tidak memberatkanmu apakah kambing itu jantan atau betina” (HR. Ahmad)

Akan tetapi yang lebih diutamakan adalah hewan jantan agar kelangsungan reproduksi hewan tersebut tetap terjaga.
Doa ketika menyembelih Aqiqah
Bismillah, Allahu Akbar. Allahumma Sholli’ala Muhammad wa ‘ala alihi wa sallim. Allahuma minka wa ‘alaika, taqobbal hadzihi ‘aqiqatu min fulan …..

Dengan nama Allah, Allah Maha Besar.Ya Allah sholawat dan keselamtan atas Nabi Muhammad SAW. Ya Allah dari Engkau dan untuk Engkau, terimalah aqiqah ini, Aqiqah untuk …. (HR. Abu Ya’a dan Al Bazzar).

Hukum Aqiqah Dilaksanakan Dilain Negara/Kota
Tidak ada batasan yang mengharuskan agar pelaksanaan aqiqah dilakukan dinegeri/kota/kampung tempat kelahiran anak. Karena itu, Anda bisa melakukan di mana saja sesuai dengan kemaslahatan yang ada.

Pemberian Nama Anak
Tidak diragukan lagi bahwa ada kaitan antara arti sebuah nama dengan yang diberi nama. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya sejumlah nash syari yang menyatakan hal tersebut. Dari Abu Hurairoh Ra, Nabi SAW bersabda: "Kemudian Aslam semoga Allah menyelamatkannya dan Ghifar semoga Allah mengampuninya". (HR. Bukhori 3323, 3324 dan Muslim 617)

Ibnu Al‐Qoyyim berkata: "Barangsiapa yang memperhatikan sunah, ia akan mendapatkan bahwa makna‐makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya sehingga seolah‐olah makna‐makna tersebut diambil darinya dan seolah‐olah nama-nama tersebut diambil dari makna‐maknanya". Dan jika anda ingin mengetahui pengaruh nama‐nama terhadap yang diberi nama (Al‐musamma) maka perhatikanlah hadits di bawah ini yang terdapat dalam Kitab At‐Thiflu Wa Ahkamuhu/Ahmad Al‐'Isawiy hal 65:

Dari Said bin Musayyib dari bapaknya dari kakeknya Ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi SAW, beliau pun bertanya: "Siapa namamu?" Aku jawab: "Hazin" Nabi berkata: "Namamu Sahl" Hazn berkata: "Aku tidak akan merobah nama pemberian bapakku "Ibnu Al‐Musayyib berkata: "Orang tersebut senantiasa bersikap keras terhadap kami setelahnya". (HR. Bukhori)

Oleh karena itu, pemberian nama yang baik untuk anak‐anak menjadi salah satu kewajiban orang tua. Di antara nama‐nama yang baik yang layak diberikan adalah nama nabi penghulu jaman yaitu Muhammad. Sebagaimana sabda beliau : Dari Jabir Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: "Namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku". (HR. Bukhori 2014 dan Muslim 2133)

Mencukur Rambut
Mencukur rambut adalah anjuran Nabi yang sangat baik untuk dilaksanakan ketika anak yang baru lahir pada hari ketujuh. Dalam hadits Samirah disebutkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda, "Setiap anak terikat dengan aqiqahnya. Pada hari ketujuh disembelihkan hewan untuknya, diberi nama, dan dicukur". (HR.At‐Tirmidzi).

Dalam kitab al‐Muwaththo`, Imam Malik meriwayatkan bahwa Fatimah menimbang berat rambut Hasan dan Husein lalu beliau menyedekahkan perak seberat rambut tersebut. Tidak ada ketentuan apakah harus digundul atau tidak. Tetapi yang jelas pencukuran tersebut harus dilakukan dengan rata; tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian yang lain dibiarkan. Tentu saja semakin banyak rambut yang dicukur dan ditimbang semakin ‐insya Allah‐ semakin besar pula sedekahnya serta semakin besar pahalanya. Amin.

Senin, 16 Maret 2009

Konsep Kepribadian

Analisis Tentang Konsep Kepribadian.
Oleh:Jilan Nasywa Hanifah,S.Pd.I

1. Pengertian Kepribadian
Kepribadian adalah hasil dari suatu proses sepanjang hidup. Kepribadian adalah suatu perwujudan keseluruhan segi manusiawinya yang unik, lahir dan batin dan dalam antar hubungannya dengan kehidupan sosial dan individunya. Kepribadian bukan terjadi dengan serta merta, akan tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang panjang, Oleh karena banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam pembentukan kepribadian manusia tersebut. Dengan demikian apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan hidup seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan sangat besar perananya dalam pembentukan kepribadian manusia itu.
Syahsiyah (kepribadian), dalam bahasa arab berasal dari kata syakhshun yang artinya pribadi atau orang. Karena itu syakhsiyah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kepribadian. Menurut Dr. Ibrahim Anis kepribadian secara bahasa bermakna Shifatun tumayyizu al-syakhsha min ghairihi”(sifat atau karakter yang membedakan satu orang dengan lainnya).
Dalam pengertian yang bersifat umum ini, maka kepribadian mengandung arti sebagai jati diri atau identitas seseorang yang membedakananya dengan orang lain. Setiap manusia mempunyai banyak identistas personal yang bisa membedakannya dengan orang lain seperti nama, tempat dan tanggal kelahiran, kebangsaan, ras, bentuk fisik, warna kulit, raut wajah, pekerjaan, kekayaan, hobby, dan lain sebagainya. Tapi semua identitas tadi jelas bukanlah indikator hakiki yang menentukan tinggi rendahnya derajat atau kualitas kepribadian seseorang. Kekayaan, penampilan fisik atau raut wajah hanyalah kulit (qusyuur) belaka.
Selain itu, sebagian identitas fisikal dan genetik tersebut merupakan pemberian dari Allah semata (bersifat qadhaiy atau taken for granted), yang memang tidak dapat diubah dan tidak dapat ditolak manusia. Maka, bila dikatakan begitu saja bahwa manuisa berkulit putih pasti lebih tiggi kualitas kepribadiannya daripada yag berkult hitam atau manusia ganteng lebih baik daripada yang berwajah sederhana, alangkah malangnya mereka yang berkulit hitam dan berwajah jelek Jelas, anggapan ini tidak adil dan tidak masuk akal, karena hal-hal tadi bukanlah hasil usaha manusia (sifatun muktasabah), melainkan sifat fisik(sifatun khalqiyah) yang tidak dapat dipilih atau ditolak manusia, karena memang termasuk dalam qadha (keputusan) Allah SWT. Karena itu sejak awal Islam memberi peringatan agar kita tidak menggunakan tolak ukur yang keliru dalam menilai kemuliaan manusia.Allah SWT telah berfirman dalam surat Al Muminun ayat 55-56:
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِين. نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَلْ لَا يَشْعُرُونَ َ
Artinya:

” Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.
Jadi sebenarnya, indikator yang paling tepat untuk menilai tinggi rendahnya kualitas kepribadian seseorang adalah perilaku (suluk) sehari-hari seseorang dalam berbagai interaksi ditengah mansyarakat. Sedang yang dimaksud prilaku adalah apa yang dilakukan manusia untuk memuaskan segala kebutuhan atau keinginannya (raghbat atau jau’at), baik kebutuhan jasmani (hajatul udhwiyah) dan nalurinya (al gharaiz). Dengan kata lain, perilaku merupakan ekspresi atau ungkapan (ta’bir) yang muncul dari adanya kebutuhan- kebutuhan jasmani dan naluri-naluri pada manusia.
Perilaku sebagai bentuk proses pemuasan (isyba’) terhadap segala kebutuhan atau keinginan manusia tersebut berjalan sesuai dengan dua faktor yang menjadi tonggak (qiwam) kepribadian manusia, yaitu :pertama, persepsi atau pemahaman (mafhum) yang ada pada seseorang sebagai hasil proses berpikirnya terhadap suatu fakta, dan kedua, kecenderungan (muyul) yang terdapat dalam jiwa manusia terhadap suatu fakta.
Faktor pertama terkait dengan aktifitas akal atau berpikir manusia. Atau dengan kata lain, faktor ini terkait erat dengan aspek aqliah atau pola pikir manusia, yaitu cara berpikir manusia . Sedang faktor kedua, berkaitan erat dengan nafsiyah, atau sikap jiwa manusia, yaitu cara seseorang berbuat untuk memuaskan segala kebutuhan dan keinginannya , yang dicirikan oleh adanya kecenderungan-kecenderungannya (muyul) terhadap sesuatu.
Berdasarkan ini, maka syahsiyah dapat didefinisikan sebagai metode berfikir manusia terhadap fakta dan kecenderungannya tergadap fakta tersebut (thariqah aqli al-insan li al-waqi wa muyuluhu nahwa al-waqi). Dengan ungkapan lain, kepribadian atau syahsiyah adalah aqliah dan nafsiyah yang ada pada manusia.

2. Unsur-Unsur Pembentuk Kepribadian
a. Aqliyah
Aqliyah adalah salah satu unsur (komponen yang membentuk kepribadian manusia), aqliyah adalah :
هي الكيفية التي يجري عليها عقل الشيء اي ادراكه وبعبارة اخرى هي الكيفية التي يربط فيها الواقع بالمعلومات اوالمعلومات بالواقع بقياسها على قاعدة واحدة او قواعد معينة


Artinya:
“Cara yang digunakan dalam memahami atau memikirkan sesuatu, dengan ungkapan lain yang dimaksud dengan aqliyah adalah cara yang digunakan oleh seseorang untuk mengaitkan fakta dengan ma’lumat, atau ma’lumat dengan fakta,yang dihadapi seseorang dengan kaidah atau beberapa kaidah tertentu.”

Karena itu aqliyah juga dapat digambarkan sebagai cara manusia untuk: pertama, memutuskan atau menyimpulkan, dan mengaitkan anatara realita dan maklumat tertentu, dengan menggunakan standar yang berupa kaidah tertentu. Sedangkan standar yang berupa kaidah tertentu, yang digunakan untuk mengaitkan antara realita denagn maklumat tersebut, adakalanya berbentuk standar perbuatan (miqyas al-amal), seperti kaidah syara’
الاصل في الافعال التقيد بالحكم الشرعي فلا يقام بفعل الا بعد معرفة حكمه
Artinya:
“Hukum asal perbuatan terikat dengan hukum syara’, maka tidak boleh melakukan suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukumnya”
Kaidah ini berlaku untuk memutuskan atau menyimpulkan realita yang berkenaan dengan perbuatan . Tentu saja ini berlaku bagi orang Islam yang menjadikan aqidah Islam sebagai asas berfikirnya yang mendorongnya untuk mengikatkan diri kepada hukum syara’ ketika melakukan perbuatan.
Demikian pula dalam kaidah hukum benda yang dijadikan standar oleh orang Islam, yaitu:
الاصل في الاشياء الاباحة حتي يدل الدليل على التحريم
Artinya: “Hukum asal benda adalah mubah, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Perlu ditegaskan, bahwa kaidah yang menjadi standar antara satu orang dengan orang lain mengikuti akidah dan asas berpikirnya . Orang Islam dengan Kapitalis maupun Sosialis tentu berbeda kaidahnya. Misal, apaila kaidah yang dijadikan orang Islam adalah halal-haram, atau hukum asal benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya”, maka kaidah yang menjadi standar bagi Kapitalis maupun Sosialis adalah : “Hukum asal benda adalah mempunyai nilai guna atau tidak?”
Dengan demikian, aqliyah seseorang yang dibentuk berdasarkan kaidah baik yang berkaitan dengan hukum perbuatan atau benda akan berjalan dengan konsisten dan terwujud, apabila dibina dengan asas aqidah yang kokoh. Dimana orang yang berkenaan senantiasa terikat pada hukum Allah. Sebab, kesadaran untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah merupakan natijah daripada iman seseorang.
Dan dengan perbedaan aqidah seseorang maka akan terjadi perbedaan aqliyah. Apabila aqidah seseorang Islam maka aqliyahnya pun merupakan aqliyah Islam. Dan apabila aqidahnya berupa aqidah kapitalism, maka aqliyahnya pun kapitalis. Apabila aqidahya berupa aqidah sosialis, maka aqliyahnya pun sosialis. Namun itupun dengan ketentuan bahwa aqidah tersebut dijadikan asas berpikirnya. Sebab, adakalanya seseorang dzahirnya beraqidah Islam, tetapi aqidah tersebut tidak dijadikan sebagai asas berpikirnya, maka aqliyah orang tersebut tentu bukan aqliyah Islam.

b. Nafsiyah
Nafsiyah menurut An Nabhany dan Muhammad Husein Abdullah adalah:
فالنفسية هي الكيفية التي يجري عليها اشباع الغراءز والحاجات العضوية وبعبارة اخرى هي الكيفية التي تربط فيها دوافع الاشباع بالمفاهيم
Artinya:
“Cara yang digunakan oleh seseorang untuk memenuhi dorongan (dawafi’) yang lahir daripada keperluan gharizah (naluri) dan kebutuhan jasmani. Dengan kata lain nafsiyah adalah cara yang digunakan manusia dengan mengaitkan dorongan penyaluran (pemenuhannya) dengan mafahim (standar tertentu)”.

Dorongan (dawafi’) untuk memenuhi keperluan jasmani dan naluri tersebut dimiliki oleh manusia dan hewan. Sedangkan kecenderungan (al muyul) hanya dimiliki oleh manusia saja, sementara hewan tidak memilikinya. Sebab, muyul merupakan dorongan yang lahir daripada keprluan jasmani dan naluri yang yang telah diikat dengan mafrhum tertentu. Sedangkan hewan tidak mempunyai mafhum, karena tidak mempunyai akal.
Mafhum seseorang muncul dari aqidahnya, sedangkan kecenderungan (muyul) dengan persepsi (mafhum)lah yang membentuk nafsiyah (pola jiwa) seseorang, maka perbedaan aqidah pastinya kan menyebabkan nafsiyah satu orang dengan oran lain. Begitu pula apabila mafhum yang dimiliki oleh seseorang timbul dari aqidah yang bernacam-macam, maka nafsiyahnya akan berupa nafsiyah yang bermacam-macam dan kacau balau.

3. Macam-Macam Kepribadian
Para pakar barat telah membagi kepribadian menjadi beberapa macam ditinjau dari bebagai aspek, antara lain:
a. Aspek Biologis:
Menurut mereka aspek biologis ini mempengaruhi tipe kepribadian berdasarkan konstitusi tubuh dan bentuk tubuh yang dimiliki seseorang.
Diantara tokoh yang mengemukakan hal tersebut adalah Hippocrates dan Galenus, mereka berpendapat bahwa yang memepengaruhi tipe kepribadian seseorang adalah jenis cairan tubuh yang paling dominan.
Berbeda dengan yang diungkapkan Kretchmer, ia dalam pembagian tipe kepribadian berpatokan pada bentuk tubuh seseorang. berdasarkan standar tersebut ia membaginya menjadi tiga macam kepribadian, yaitu: Pertama: Tipe Astenis, dengan ciri memiliki tubuh yang tinggi, kurus, dada sempit. Kedua: Tipe Piknis, tipe orang yang memiliki tubuh atletik, tinggi kekar dan berotot, sifat-sifat yang dimilikinya antara lain mudah menyesuaikan diri, berpendirian teguh dan pemberani .Ketiga: Tipe Displastis, yaitu tipe manusia yang memilki bentuk tubuh campuran. Sifat yang dimilikinya biasanya mudah terpengaruh oleh situasi sekelilingnya. Menurutnya tipe ini adalah tipe orang yang tak mempunyai ciri kepribadian yang mantap.
Disisi yang lain, Sheldon membagi tipe kepribadian berdasarkan dominasi lapisan yang berada dalam tubuh seseorang, Menurutnya ada tiga kepribadian, yaitu: Pertama: Tipe Ektomorp (tipe orang yang berbadan kurus). Kedua: Tipe Mesomoraph (Tipe orang yang berbadan sedang). Ketiga : Tipe Endomorph ( Tipe orang yang memiliki badan gemuk.)
b. Aspek Sosiologis
Pembagian ini berdasarkan pada pandangan hidup dan kualitas sosial seseorang. Diantara yang berpendapat demikian adalah: Edward Spranger, ia berpendapat bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh pandangan hidup mana yang dipilihnya. Berdasarkan hal ini ia membagi tipe kepribadian menjadi beberapa macam ,yaitu: tipe teoritis, tipe ekonomis, tipe estetis, tipe politis, tipe religius.
c. Aspek Psikologis
Dalam pembagian tipe atau macam kepribadian berdasarkan psikologis, ada yang berpendapat bahwa dalam diri manusia itu ada tiga unsur yaitu emosionalitas, aktifitas dan fungsi sekunder, seperti yang dikemukakkan oleh Prof. Heyman. Dari tiga unsur manusia ini lahirlah tipe kepribadian sebagaimana yang ia kemukakaan, yaitu : tipe gepassioner, tipe sentimentil, tipe choleris, tipe sanguitis, nervens, apalcis, amorph.
Berbeda dengan Carl Gustav yang membagi kepribadian manusia menjadi dua pokok sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, yaitu; pertama, tipe extravert, adalah tipe kepribadian orang yang terbuka dan banyak berhubungan dengan kehidupan nyata. Kedua, Tipe Introvert, yaitu kepribadian orang yang tertutup dan cenderung kepada berpikir dan merenung.
Terlepas dari pandangan tokoh-tokoh barat tersebut, penulis menegaskan bahwa kepribadian atau syahsiyah tidak boleh dinilai dari sosok lahiriah seperti bentuk fisik, raut muka, harta kekayaan dan sebagainya, yang sebenarnya itu hanyalah kulit belaka yang membungkus esensi sejati pribadi manusia. Inilah yang disyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam Hadis Shahih Muslim no.4651:

حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ. رواه المسلم.
Artinya:
“Telah menuturkan kepada kami Amr dan Naaqid, kemudian Kabir bin Hisyam, kemudian telah menuturkan Jafar bin Burqon dari Yazid bin Al-Ashom dari Abu Hurairah: Telah bersabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah tidak melihat wajah dan hartamu akan tetapi Allah melihat hati dan amalmu. Hadits Riwayat.Muslim”.

Oleh karena itu berdasarkan penelitian penulis dari berbagai sumber, penulis lebih sepakat bahwa pembagian jenis kepribadian harus dikembalikan pada dua unsur: pertama, standar yang dengannya seorang manusia beraktifitas. Kedua, Kesesuaian aktifitas yang dilakukan dengan standar yang menjadi acuan.
Dari rumusan tersebut serta realtas dilapangan, kita akan menemukan dua jenis kepribadian, yaitu:

a. Kepribadian Manusia yang Khas (Syahsiyah Mutamayyizah)
Kepribadian yang khas (mutammyizah) adalah kepribadian yang dibangun dengan aqliyah dan nafsiyah yang sejenis. Sehingga kecenderungannya (muyul) tunduk kepada persepsinya (mafhum). Atau dapat dikatakan bahwa nafsiyahnya tunduk kepada aqliyahnya.
Supaya kepribadian tersebut unik serta mempunyai warna khas, maka mestilah ada kaidah berpikir yang mendasar sebagai kaidah umum, sehingga kesimpulan seseorang terhadap realitas, baik berupa perbuatan atau benda , dapat dilahirkan dari kaidah berpikir tersebut. Dengan begitu semua hukum yang berkenaan denagn hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan horizontal dengan sesama manusia, dan hubungan diagonal dengan dirinya sendiri, dapat diperoleh dari kaidah tersebut. Dan tentu tidak mungkin dicapai, kecuali apabila kaidah berpikir tersebut merupakan pemikiran mendasar atau pemikiran ideologis (al-fikru al mabda’i) seperti Islam, Kapitalisme atau Sosialisme.
Oleh karena itu, kepribadian yang unik hanyalah kepribadian ideologis (syahsiyah mabda’iyah), yaitu kepribadian yang berdasarkan ideologi tertentu seperti kepribadian Islam, Kapitalis sekuler dan kepribadian Sosialis. Tidak ada kepribadian Nasrani, Yahudi, Konfucious atau yang lainnya. Sebab, standar aqliyah dan nafsiyah yang merupakan standar berpikir dan muyul seseorang itu mestilah berupa standar yang dibangun berdasarkan aqidah aqliyah. Sebagaimana yang dituturkan oleh An Nabhany:


عقيدة عقلية (فكرة كلية) ينبثق عنها نظام
Artinya:
“Aqidah yang diperoleh melalui proses berpikir (pemikiran yang menyeluruh) dan dapat menghasilkan pemikiran, sehingga mampu memancarkan sistem (yang dapat mengatur seluruh aspek hubungan manusia.)
Dan itu tidak lain, kecuali ideologi ( al mabda’i). Jadi kepribadian yang khas (Syahsiyah Mutamayyizah) adalah kepribadian yang dibangun dengan aqliyah dan nafsiyah yang berasal dari jenis aqidah yang sama. Meskipun kuat dan lemahnya kepribadian tersebut berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

b. Kepribadian Yang Kacau (Syahsiyah Gyair Mutamayyizah)
Kepribadian Gyoir Mutamayyizah adalah kepribadian yang dibangun dengan standar aqliyah dan nafsiyah yang berbeda-beda. Kaidah yang menjadi asas berpikirnya berbeda dengan kaidah yang menjadi asas muyulnya. Maka orang yang mempunyai kepribadian yang kacau balau semacam ini secara umum menapkan tingkah laku (suluk) yang tidak konsisten. Sebab cara berpikirnya berbeda dengan muyulnya, sehingga banyak keputusan yang diambilnya terhadap realita bertentangan dengan muyul dan juga pendiriannya terhadap realita tersebut. Atau dalam bahasa Muhammad Hawari dikatakan sebagai:
انفصال الفكر عن الشعور
‘Terpisahnya pemikiran dengan perasaan (keyakinan).”
Keperibadian seperti ini juga dapat terjadi apabila aqliyah dan nafsiyahnya dikembalikan kepada kaidah berpikir yang bukan merupakan pemikiran ideologis, sehingga tidak dapat menghasilkan sistem yang menyeluruh, yang mengatur seluruh hubungna manusia, namun hanya dapat mengatur sebagian hubungan mereka sebatas aqidah ruhiah saja tidak mencakup aqidah Siyasiyah atau sebaliknya.
Memang, kepribadian yang kacau juga dapat menampakan wujud teratur dan disiplin, yaitu apabila orang yang tersebut membina kaidah berpikirnya, namun kaidah tersebut tidak dapat digunakan untuk memutuskan perkara lain termasuk perkara yang muncul kemudian. Sehingga, kepribadian tersebut tampak jumud (beku), seperti batu dan bergerak bagaikan mesin. Sebagaimana lazimnya pendidikan tentara ketika ini. Mereka di didik tidak ubahnya seperti mesin dan robot. Inilah gambaran kepribadian yang kacau.
Atau seperti orang Islam yang belajar fikih Islam, namun tidak menggunakan metode belajar dan kurikulum belajar fikih Islam yang benar. Mereka hanya diajari fikih matan, yang merupakan produk hukum syara’ yang sudah jadi. Sehingga apabila ada hukum lain yang sama , namun karena tidak diajarkan atau diterangkan cara pengambilam hukumnya , maka orang yang belajar tersebut tidak akan dapat menentukan sikap. Karena ia tidak dapat mentahqiq realita, selain apa yang telah diterangkan dalam matan yang dipelajarinya.

SURAT AN-NAHL 125

Surat An Nahl 125
Oleh: Jilan Nasywa Hanifah,S.Pd.I

1.Teks Surat An Nahl Ayat 125

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

2. Asbab An-Nuzul Surat An Nahl ayat 125
Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah. Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW, untuk melakukan gencatan senjata (muhadanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, Ibn Katsir tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut.
Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sabab an- nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzul-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum. Ini berdasarkan kaidah ushul:
أَنَّ الْعِبْرَةَ لِعُمُومِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوصِ السَّبَبِ
Artinya:
“Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab”
Setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).
Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam. Sebagaimana kaidah dalam ushul fikih :
خطاب الرسول خظاب لامته مالم يرد دليل التحصيص
Artinya:
“Perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”

3. Beberapa Pendapat Ahli Tafsir
a. Tafsir Al-Jalaalayn

{ ادع } الناس يا محمد صلى الله عليه وسلم { إلى سَبِيلِ رَبّكَ } دينه { بالحكمة } بالقرآن { والموعظة الحسنة } مواعظة أو القول الرقيق { وجادلهم بالتى } أي المجادلة التي { هِىَ أَحْسَنُ } كالدعاء إلى الله بآياته والدعاء إلى حججه { إِنَّ رَّبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ } أي عالم { بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بالمهتدين } فيجازيهم ،
وهذا قبل الأمر بالقتال . ونزل لما قتل حمزة
Artinya:
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Mahatahu, yakni Mahatahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Mahatahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”

b. Tafsir al-Qurthuby
هذه الآية نزلت بمكة في وقت الامر بمهادنة قريش، وأمره أن يدعو إلى دين الله وشرعه بتلطف ولين دون مخاشنة وتعنيف، وهكذا ينبغى أن يوعظ المسلمون إلى يوم القيامة. فهى محكمة في جهة العصاة من الموحدين، ومنسوخة بالقتال في حق الكافرين. وقد قيل: إن من أمكنت معه هذه الاحوال من الكفار ورجى إيمانه بها دون قتال فهى فيه محكمة. والله أعلم.
Artinya:
“(Ayat ini diturunkan di Makkah saat Nabi SAW. diperintahkan untuk bersikap damai kepada kaum Quraisy. Beliau diperintahkan untuk menyeru pada agama Allah dengan lembut (talathuf), layyin, tidak bersikap kasar (mukhasanah), dan tidak menggunakan kekerasan (ta’nif). Demikian pula kaum Muslim; hingga Hari Kiamat dinasihatkan dengan hal tersebut. Ayat ini bersifat muhkam dalam kaitannya dengan orang-orang durhaka dan telah di-mansûkh oleh ayat perang berkaitan dengan kaum kafir. Ada pula yang mengatakan bahwa bila terhadap orang kafir dapat dilakukan cara tersebut, serta terdapat harapan mereka untuk beriman tanpa peperangan, maka ayat tersebut dalam keadaan demikian bersifat muhkam. Wallâhu a’lam.)”

c. Tafsir At-Thabary
( ادْعُ ) يا محمد من أرسلك إليه ربك بالدعاء إلى طاعته( إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ ) يقول: إلى شريعة ربك التي شرعها لخلقه، وهو الإسلام( بِالْحِكْمَةِ ) يقول بوحي الله الذي يوحيه إليك وكتابه الذي ينزله عليك( وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ) يقول: وبالعبرة الجميلة التي جعلها الله حجة عليهم في كتابه ، وذكّرهم بها في تنزيله، كالتي عدّد عليهم في هذه السورة من حججه ، وذكّرهم فيها ما ذكرهم من آلائه( وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ) يقول: وخاصمهم بالخصومة التي هي أحسن من غيرها أن تصفح عما نالوا به عرضك من الأذى، ولا تعصه في القيام بالواجب عليك من تبليغهم رسالة ربك.

Artinya:
“Serulah (Wahai Muhammad, orang yang engkau diutus Rabb-mu kepada nya dengan seruan untuk taat ke jalan Rabb-mu, yakni ke jalan Tuhanmu yang telah Dia syariatkan bagi makhluk-Nya yakni Islam, dengan hikmah (yakni dengan wahyu Allah yang telah diwahyukan kepadamu dan kitab-Nya yang telah Dia turunkan kepadamu) dan dengan nasihat yang baik (al-mau’izhah al-hasanah, yakni dengan peringatan/pelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam surat ini, dan Allah mengingatkan mereka (dalam ayat dan surat tersebut) tentang berbagai kenikmatan-Nya). Serta debatlah mereka dengan cara baik (yakni bantahlah mereka dengan bantahan yang terbaik), dari selain bantahan itu engkau berpaling dari siksaan yang mereka berikan kepadamu sebagai respon mereka terhadap apa yang engkau sampaikan. Janganlah engkau mendurhakai-Nya dengan tidak menyampaikan risalah Rabb-mu yang diwajibkan kepadamu.)


d. Tafsir al-Qurân il-‘Azhîm
يقول تعالى امرا رسوله محمدا صلى الله عليه وسلم ان يدعو الخلق بالحكمة.قال ابن جرير:وهوما انزله عليه من الكتاب والسنة.{والموعظة الحسنة} اي : بما فيه من الزواجر والوقاءع
بالناس دكرهم بها ليحذروا باء س الله تعلى. { وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ } أي: من احتاج منهم إلى مناظرة وجدال، فليكن بالوجه الحسن برفق ولين وحسن خطاب، كما قال: { وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ } [العنكبوت:46] . فأمره تعالى بلين الجانب، كما أمر موسى وهارون، عليهما السلام، حين بعثهما إلى فرعون فقال: { فَقُولا
لَه قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى } [طه :44]
وقوله: إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِين.َ أي: قد علم الشقي منهم والسعيد، وكتب ذلك عنده وفرغ منه، فادعهم إلى الله، ولا تذهب نفسك على من ضل منهم حسرات، فإنه ليس عليك هداهم إنما أنت نذير، عليك
البلاغ، وعلينا الحساب
Artinya:
“(Allah, Zat Yang Mahatinggi, berfirman dengan memerintahkan Rasul-Nya, Muhammad SAW., untuk menyeru segenap makhluk kepada Allah dengan hikmah. Ibn Jarir menyatakan, bahwa maksud dari hal tersebut adalah apa saja yang diturunkan kepadanya baik al-Quran, as-Sunnah. Dan nasihat yang baik, artinya dengan apa saja yang dikandungnya berupa peringatan (zawâjir) dan realitas-realitas manusia. Memperingatkan mereka dengannya supaya mereka waspada terhadap murka Allah SWT. Debatlah mereka dengan debat terbaik’ artinya barang siapa di antara mereka yang berhujah hingga berdebat dan berbantahan maka lakukanlah hal tersebut dengan cara yang baik, berteman, lembut, dan perkataan yang baik. Hal ini seperti firman Allah SWT. dalam surat al-‘Ankabut (29): 46 (yang artinya): Janganlah kalian berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka. Dia memerintahkannya untuk bersikap lembut seperti halnya Dia memerintahkan hal tersebut kepada Musa a.s. dan Harun a.s. ketika keduanya diutus menghadap Fir’aun seperti disebut dalam surat Thaha (20) ayat 44 (yang artinya): Katakanlah oleh kalian berdua kepadanya perkataan lembut semoga dia mendapat peringatan atau takut. Firman-Nya “Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Maha Mengetahui terhadap siapa yang sesat dari jalan-Nya” artinya Sungguh Dia telah mengetahui orang yang celaka dan bahagia di antara mereka. Dan Allah telah menuliskan dan menuntaskan hal itu disisinya. Oleh karena itu, serulah mereka kepada Allah, dan janganlah engkau merasa rugi atas mereka yang sesat, sebab bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, engkau semata-mata pemberi peringatan, engkau wajib menyampaikan dan Kami yang wajib menghisabnya.)”

4. Analisis Tafsir An Nahl ayat 125

a. Makna Hikmah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan, kesaktian dan makna yang dalam. Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal. Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian. At-Thabary mengatakan bahwa Hikmah dari Allah SWT bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam din dan akal.
Adapun Abdul Aziz bin Baz bin Abdullah bin Baz berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa hikmah mengandung arti sebagai berikut:

والمراد بها: الأدلة المقنعة الواضحة الكاشفة للحق، والداحضة للباطل؛ ولهذا قال بعض المفسرين: المعنى: بالقرآن؛ لأنه الحكمة العظيمة؛ لأن فيه البيان والإيضاح للحق بأكمل وجه، وقال بعضهم: معناه: بالأدلة من الكتاب والسنة.
Artinya:
“Dan yang dimaksud dengan hikmah adalah: petunjuk yang memuaskan, jelas, serta menemukan (mengungkapkan) kebenaran, dan membantah kebatilan. Oleh karena itu, telah berkata sebagian mufassir bahwa makna hikmah adalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an adalah hikmah yang agung. Karena sesungguhnya di dalam Al Qur’an ada keterangan dan penjelasan tentang kebenaran dengan wajah yang sempurna (proporsional). Dan telah berkata sebagian yang lain bahwa makna hikmah adalah dengan petunjuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.”

Pernyataan Abdul Aziz Bin Baz tersebut sejalan dengan pendapat sebagian mufasir terdahulu seperti As-Suyuthi, dan Al-Baghawi, As-Samarkandy yang mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Dan Ibnu Katsir yang menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran . An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan . An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan . Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah) . Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).

Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.

Al-burhân al-‘aqlî (argumentasi logis) yang di maksud adalah argumentasi yang masuk akal, yang tidak dapat dibantah, dan yang memuaskan. Yang dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan siapa saja. Sebab, manusia tidak dapat menutupi akalnya di hadapan argumentasi-argumentasi yang pasti serta pemikiran yang kuat. Argumentasi logis mampu membongkar rekayasa kebatilan, menerangi wajah kebenaran, dan menjadi api yang mampu membakar kebobrokan sekaligus menjadi cahaya yang dapat menyinari kebenaran.
Hikmah, memang, kadangkala berarti menempatkan persoalan pada tempatnya; kadangkala juga berarti hujjah atau argumentasi. Dalam ayat ini, tidak mungkin ditafsirkan dengan makna menempatkan persoalan pada tempatnya. Makna hikmah dalam ayat ini adalah hujah dan argumentasi

Dakwah atau pengajaran dengan cara hikmah, umumnya diberikan oleh seseorang untuk menjelaskan sesuatu kepada pendengarnya yang ikhlas untuk mencari kebenaran. Hanya saja, ia tidak dapat mengikuti kebenaran kecuali bila akalnya puas dan hatinya tenteram.

2. Makna Mau‘izhah Al-hasanah.

Sebagian mufasir menafsirkan mau’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mau’izhah al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).
Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat mau’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu il¬â al-qulûb bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan mau’izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau’izhah hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.

Al-Quran telah mempraktikkan hal tersebut, pada saat ia menyeru pemikiran ia pun mempengaruhi perasaan manusia. Oleh karena itu di dalam proses pengajaran dan pendidikan hendaklah mengandung unsur-unsur tersebut. Adapun mau’izhah al hasanah atau nasihat yang baik, umumnya dengan cara memberikan berita gembira dan berita peringatan dari Allah Pencipta alam. Misalnya firman Allah SWT.dalam Surat Al-A’raf ayat 179:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ
كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan isi neraka Jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai pikiran tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakan untuk memperhatikan (ayat-ayat Allah). Mereka juga mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”.

Seruan dengan mau‘izhah hasanah ini tertuju pada orang-orang yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

3. Makna Jidal Billati Hiya Ahsan.
A .Debat Syar’i
Debat (al-jidal) identik dengan dialog/diskusi (at-tahâwur). Allah SWT. berfirman dalam surat Al Mujadalah ayat 1::
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِن َّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Allah mendengar soal jawab antara kalian berdua.” .

Dalam ayat ini Allah menyebut debat dengan istilah tahâwur, artinya berdiskusi/berdialog. Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat. Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya, membatalkan hujah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Sebagian mufasir memaknai jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya Ibnu Abbas, beliau menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.

Pada penafsiran yang lebih terinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek.:

a. Dari segi cara (uslub)
Sebagian mufasir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, Al-Baghawi, Al-Baidhawi, dan Al-Khazin.
b. Dari segi topik (fokus) debat
Sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzil) atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.
c. Dari segi argumentasi
Para mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz.
Seruan dengan jidal billati hiya ahsan tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat. Di antara teladan cara debat yang diajarkan al-Quran menurut Al-Alusi diantaranya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 258, yaitu:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ
الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)? Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan terdiamlah orang kafir itu.” .

Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surata As-Syu‘ara ayat:23-31:

قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ 25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آَبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28) قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ (29) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ (30
قَالَ فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (31
Artinya:
“Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?” Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada pada keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”.

Jika kita dalami ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa debat itu haruslah mengandung dua unsur sekaligus, yaitu:
1) Mengungkapkan dan menghancurkan kebatilan dihadapan orang yang tetap dengan kebatilannya dan kuat penentangannya, sekalipun telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang bolong. Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi batil, serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar dan tepat.
2) Mengungkapkan dan menetapkan kebenaran sebagai benar, dengan cara membangun kebenaran atas dasar argumen yang rasional atau dalil yang tepat dan syar’i.

IBADAH

IBADAH
Jilan Nasywa Hanifah,S.Pd.I
Ditulis dalam rangka mengisi pengijian mingguan.

Pengertian ibadah:
 Secara Bahasa:
Ibâdah berasal dari kata 'abada–ya‘budu–'ibâdah/'ubûdiyyah yang artinya beribadah atau menyembah. Menurut Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtâr as-Shihâh 1/172, asal ‘ubûdiyyah adalah al-khudhû‘ (ketundukan) dan ad-dzullu (kerendahan), Ibadah juga berarti inqiyâdz, yakni kepatuhan (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, 4/235). Dengan demikian, secara bahasa ibadah dapat diartikan sebagai bentuk kerendahan, ketundukan, dan kepatuhan kepada al-Ma‘bûd (yang disembah).

 Secara Syari’at:
Imam Ibn Taimiyah, sebagaimana dinukil oleh al-Hafizh ibn Ahmad al-Hakami, mengatakan bahwa ibadah merupakan sebutan yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah berupa perkataan dan perbuatan, baik batin maupun lahir. (Al-Hakami, Ma‘ârij al-Qabûl, 1/84).

Pembagian Ibadah:
 Ibadah Umum
Scara umum segala bentuk ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah merupakan ibadah. Hal ini berdasarkan dalil:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS ad-Dzariyat [51]: 56).

 Ibadah Khusus
Kata ibadah kemudian digunakan untuk menyebut bentuk ketaatan yang lebih khusus. Para ulama menyebutnya sebagai ibadah mahdhah, dan disebut “ibadah” saja. Ibadah mahdhah ini, seperti yang dikatakan oleh an-Nawawi, adalah ibadah yang murni, di dalamnya tidak terdapat campuran selainnya (al-Majmû‘ 1/373).
Contoh ibadah mahdhah ini adalah shalat, puasa, zakat, haji, doa, zikir, membaca al-Quran, kurban Idul Adha, dan sebagainya.

Cara Beribadah:
Agar ibadah menjadi sah dan berpahala, maka pelaksanaannya harus memenuhi tiga ketentuan pokok:
 harus dilandasi iman;
 harus ikhlas semata-mata karena Allah, tidak boleh dilakukan demi selain Allah;
 harus dilakukan sesuai dengan tatacara dan ketentuan ibadah yang telah ditentukan Allah dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, tidak boleh ada tambahan atau pengurangan.

Minggu, 15 Maret 2009

Metode Pengajaran Islam

Pengertian Metodologi Hikmah, Mau’izhah Al Hasanah dan Jidal
OLeh:JIlan Nasywa HAnifah,S.Pd.I
1. Pengertian Metodologi Secara Umum
Dalam definisi umum metode adalah cara atau jalan. Menurut Winarno Surakhmad metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan, sedangkan Sarimunda Nasution mendefinisikan metode sebagai cara untuk melakukan sesuatu prosedur. Adapun Morris dalam bukunya mengemukakan bahwa metode adalah “ a means or manner of procedure, especially, a reguler a systematic way accomplissing anyhthing method emphasize procedures according to a detailiced, logically ordered plan.” Sejalan dengan pendapat tersebut Hasan Alwi, dkk mengatakan bahwa metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa metode adalah prosedur yang disusun secara teratur dan logis yang dituangkan dalam suatu rencana kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur-unsur metode mencakup prosedur, sistematik, logis, terencana dan aktifitas untuk mencapai tujuan.
Metode sebagai alat pencapai tujuan ini sejalan dengan pendapatnya Syaiful Bahari Djamarah dan Aswan yang dikutip oleh Kartini Kartono, bahwa metode adalah cara yang sistematis untuk mencapai tujuan, dengan memberikan tambahan bahwa metode juga berfungsi sebagai strategi pengajaran.
Secara ringkas, metodologi ialah pembahasan tentang metode atau metode-metode. Metodologi pengajaran agama Islam berarti pembahasan tentang metode atau metode-metode pengajaran agama Islam. Adapun dalam Metodologi pengajaran agama Islam yang dikaji dalam skripsi ini ialah tentang konsep pengajaran hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal (surat An nahl ayat 125).
Oleh karena itu perlu dipahami sebelumnya pengertian metodologi melalui pendekatan ushul sebagai paradigma tasyri’. Sejalan dengan pendapat Muhammad Anwar yang dikutip DR. Rifal Ka’bah MA bahwa metodologi adalah suatu model yang menyediakan prinsif-prinsif teoritis dan kerangka kerja yang memberi petunjuk bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks sebuah paradigma. Sedangkan paradigma adalah satu set proposisi (rancangan usulan) yang menerangkan bagaimana dunia dipahami.
Di sisi lain, suatu paradigma bahwa sumber segala eksistensi atau yang maujud adalah Tuhan (theocentris) jelas akan mempunyai implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dibandingkan dengan paradigma lainnya bahwa manusia mempunyai kedudukan sentral dijagat raya (anthropocentris).

2. Urgensi Memahami Thariqah, Uslub Dan Wasilah
a. Thariqah (Metode)
Qadhi Taqiyyuddin An Nabhani telah menyatakan: Islam adalah akidah yang memancarkan sistem. Sistem ini adalah hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil tafshîlî (kasus per kasus). Di dalam sistem tersebut, Islam telah menjelaskan tata cara yang digunakan untuk menerapkan hukum-hukumnya melalui hukum syara’. Dan hukum-hukum syara’ yang menjelaskan tata cara untuk menerapkan (hukum) inilah yang disebut thariqah, sementara yang lain adalah fikrah.
Hukum-hukum syara’ yang menjelaskan tata cara menerapkan solusi-solusi (hukum-hukum syara’) ini, serta tata cara mempertahankan akidah dan mengemban dakwah itu juga merupakan thariqah. Dan, selama thariqah tersebut terdapat di dalam syariah, maka dalam masalah thariqah itu wajib hanya mengambil apa yang dinyatakan oleh syara’ dan apa yang digali dari nas-nasnya.
Demikianlah, hukum-hukum thariqah yang lain itu digali berdasarkan ijtihad dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas, sebagaimana hukum-hukum yang lain. Ketika as-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Kitab, maka fikrah itu juga dinyatakan secara Mujmal dalam al-Kitab, sementara di dalam as-Sunnah dinyatakan secara detail. Begitu juga thariqah telah dinyatakan dalam al-Kitab secara Mujmal, sementara di dalam as-Sunnah telah dinyatakan secara detail.
Dengan menganalisis berbagai aktivitas yang ditunjukkan oleh hukum syara’ yang berkaitan dengan thariqah ini akan ditemukan, bahwa thariqah itu merupakan aktivitas fisik, yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang bisa dirasakan, dan bukan aktivitas yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang tak dapat dirasakan. Contohnya do’a adalah aktivitas yang dapat merealisasikan nilai spiritual, dan jihad adalah aktivitas fisik yang dapat merealisasikan nilai spiritual. Tetapi meski do’a tersebut merupakan aktivitas fisik, namun do’a dapat merealisasikan hasil-hasil yang tidak dapat dirasakan, yaitu pahala, sekalipun tujuan orang yang melakukan do’a tersebut adalah untuk merealisasikan nilai spiritual. Berbeda dengan jihad, karena jihad adalah memerangi musuh, dan itu merupakan aktivitas fisik yang dapat merealisasikan hasil yang dapat dirasakan, yaitu ditaklukkannya benteng, kota atau terbunuhnya musuh, dan sebagainya, sekalipun orang yang berjihad itu bermaksud untuk merealisasikan nilai spiritual.
Perbuatan-perbuatan cabang ini, jika dinyatakan oleh hukum khusus, maka perbuatan tersebut merupakan thariqah. Namun, jika perbuatan tersebut tidak dinyatakan oleh hukum khusus, maka keumuman hukum yang menyatakan hukum asalnya juga menjadi dalil bagi kemubahan untuk melaksanakan perbuatan apapun, maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, dan itu adalah uslub.
Demikianlah, setiap perbuatan seorang muslim harus dijalankan menurut hukum syara’. Adapun kemubahan tersebut adalah apa yang harus dilakukan dengan salah satu perbuatan, tanpa disertai ketentuan, sedangkan keterikatan pada hukum tertentu adalah apa yang harus dikerjakan dengan perbuatan tertentu yang telah ditentukan oleh syara’. Perbuatan yang telah ditentukan oleh syara’, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkan, disebut thariqah, dan selama syara’ tidak menentukan perbuatan tertentu untuk dikerjakan, tetapi memerintahkan agar dilaksanakan dengan perbuatan apapun, maka disebut uslub.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa thariqah adalah hukum syara’ sebagaimana hukum syara’ yang lain, yang digali dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat maupun Qiyas. Hukum ini mengatur aktivitas manusia yang berkaitan dengan tata cara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan Allah. Dengan kata lain, thariqah adalah aktivitas yang telah ditentukan oleh syara’, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkan, baik untuk dilaksanakan maupun ditinggalkan. Karena itu, aktivitas tersebut mempunyai ciri khas, berupa aktivitas fisik, dapat merealisasikan hasil-hasil yang dapat dirasakan, bersifat tetap, dan tidak berubah. Karena aktivitas ini telah ditentukan oleh syara’, maka akal tidak mempunyai peranan untuk menentukan aktivitas ini, selain memahami apa yang telah dijelaskan oleh syara’. Dan karena telah ditetapkan oleh syara’, maka untuk menentukan thariqah tidak diperlukan akal inovatif (‘aql mubdi’), tetapi cukup dengan menggunakan akal biasa (‘aql ‘adi).
Karena thariqah ini telah dijelaskan oleh Rasul dalam sunnah fi’liyah beliau, maka thariqah ini harus diambil sebagaimana yang telah beliau contohkan, baik yang berkaitan dengan bentuknya (mumâtsalah), momentumnya (min ajlihi) maupun hukumnya (‘alâ wajhih). Dengan demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa thariqah sama dengan hukum syara’ yang lain. Sama-sama bersumber dari dalil syara’, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Demikian juga ada yang qath’i dan dzanni, sebagaimana hukum syara’ yang lain, meski masing-masing ditetapkan oleh dalil. Ini ketentuan secara umum tentang thariqah Islam.

b. Uslub (Tekhnik)
Uslub menurut An-Nabhany dalam kitabnya At-Tafkir di definisikan sebagai tata cara tertentu untuk melakukan aktivitas, dan merupakan tata cara yang tidak tetap. Dalam alenia lain dinyatakan uslub itu ditentukan oleh jenis aktivitasnya. Karena itu, uslub tersebut berbeda mengikuti perbedaan jenis aktivitasnya.
Ini berkaitan dengan fakta uslub secara umum. Dalam kaitannya dengan hukum syara’, uslub adalah tata cara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan syara’ yang aktivitasnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi diserahkan kepada ijtihad akal. Karena itu, untuk merumuskan uslub dibutuhkan akal inovatif.
Uslub (cara) adalah cabang dari metode (thariqah). Uslub berbeda dengan thariqah, ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum thariqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfal ayat 60:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”.

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya. Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.
Walhasil, uslub adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara atau tekhnik mengajar tertentu, tekhnik berperang, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb. Semuanya berhubungan dengan uslub tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslub tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِب
Artinya:
“Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib”
Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslub tertentu, kecuali ketika uslub tersebut harus diwujudkan sesuai dengan kaidah di atas, karena uslub bersifat kondisional.
Dengan alasan ini, uslub (tekhnik) yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslub tertentu sebagai standar. Sebab, uslub ditentukan oleh situasi dan kondisi. Satu uslub boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslub yang paling efektif. Dalam banyak hal, uslub yang efektif akan berpeluang besar membuahkan hasil yang sangat baik .

c. Membedakan Thariqah dan Uslub
Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (thariqah) dan cara (uslub). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan thariqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslub tertentu.
Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam. Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan thariqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri. Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil. Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.
Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari thariqah atau uslub.
Oleh karena itu uslub didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. dan uslub tidak memerlukan dalil spesifik karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

d. Wasilah (Alat)
Sedangkan wasilah adalah sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Dalam peperangan, bom, pesawat tempur, roket, radar, peta dan lain-lain adalah wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Artinya:
Hukum asal benda benda adalah boleh sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.
Sedangkan tara cara menggunakannya dalam aktifitas tersebut merupakan uslub. Perlu diperhatikan bahwa dalam berfikir untuk merumuskan uslub harus disertai dengan memikirkan wasilah-nya. Sebab, secanggih apapun uslub termasuk khiththah yang dirumuskan, tidak ada artinya jika menggunakan wasilah yang tidak bisa menghasilkan solusi yang hendak diwujudkan. Misalnya, untuk melawan musuh yang melakukan perang jarak jauh dengan bersenjatakan senjata canggih, tidak bisa dilawan dengan senjata pedang dan panah, misalnya, meski strategi (khiththah) yang telah dirumuskannya sedemikian canggih. Bahkan, bisa dikatakan strategi (khiththah) yang telah dirumuskan sedemikian canggih itu menjadi sia-sia belaka.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa untuk mengimplementasikan setiap perintah dan larangan Allah itu ada metode (thariqah)-nya. Maka, siapa saja yang hendak mengimplementasikan perintah dan larangan Allah, harus terikat dengan thariqah-nya, sehingga sejalan dengan fikrah-nya. Inilah yang dimaksud, bahwa thariqah itu harus sejenis dengan fikrah-nya. Untuk melaksanakan thariqah yang telah ditetapkan, syara’ telah memberikan peluang kepada manusia untuk membuat rumusan apapun yang sejalan dengan hukum thariqah, asal tidak bertentangan dengan hukum yang tegas, sehingga thariqah tersebut benar-benar bisa dilaksanakan dengan efektif dan dengan hasil yang cemerlang. Inilah yang disebut dengan uslub dan wasilah. Karena itu, uslub dan wasilah tersebut bisa berubah-ubah, dan banyak, sementara thariqah-nya tetap, dan hanya satu. Maka, ketika thariqah tersebut telah dibuktikan kebenarannya, namun belum berhasil juga mewujudkan tujuan yang hendak diimplementasikan, pada dasarnya yang harus dikaji dan diubah bukanlah thariqah-nya, melainkan uslub dan wasilah-nya, hingga berhasil mewujudkan tujuan yang dihendakinya.
Dengan demikian, berfikir terus-menerus untuk melahirkan uslub dan wasilah baru merupakan ciri khas aqliah “hall al-masyâkil” yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Jika tidak, orang tersebut akan mundur dan melarikan diri dari permasalahan.

3. Hikmah, Mau’izhah Al Hasanah dan Jidal sebagai Sebagai Thariqah (Metode) Pengajaran Yang Ditetapkan Al-Qur’an.
Metodologi Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Anwar yang dikutip oleh DR.Rifyal Ka’bah. MA adalah suatu model yang menyediakan prinsif-prinsif teoritis dan kerangka kerja yang memberi petunjuk bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks sebuah paradigma. Sedangkan paradigma adalah satu set proposisi (rancangan usulan) yang menerangkan bagaimana dunia dipahami. Ia berisikan sebuah pandangan keduniaan, suatu cara untuk memecahkan kerumitan dunia sesungguhnya, yang memberi tahu para peneliti dan ilmuwan sosial pada umumnya tentang apa yang penting, apa yang sah dan apa yang masuk akal. Sistem klasifikasi Barat biasanya menempatkan metodologi dibawah kategori filsafat, psikologi, dan agama. Ia mempunyai hubungan yang dekat dengan epistemology dan logika.
Dalam metodologi Barat , kebenaran diperoleh melalui pengamatan terhadap kenyatan hidup. Melalui penginderaan terhadap objek-objek tertentu, pikiran mengamati, menguraikan, dan mengamalkannya. Itu dilakukan melalui percobaan berkali-kali dalam waktu dan tempat yang berbeda, dan tetap memberikan kesimpulan yang sama sehingga menjadi kesimpulan ilmiah atau hukum. Atau ia dilakukan dengan observasi pemikiran melalui metode perbandingan, simplikasi, deduksi, dan lain-lain sehingga diperoleh sebuah kesimpulan yang dianggap sebagai kebenaran atau hukum . Kedua bentuk kesimpulan ini tetap dipandang sebagai kebenaran bila belum ditemukan kesimpulan lain yang membatalkannya. Inilah yang disebut sebagai relativitas kesimpulan ilmu.
Metodologi dalam Islam merujuk kepada prinsif tauhid. Tauhid sebagai dasar metodologis (minhajiyah ), .Oleh karena itu perlu dipahami bahwa setiap pemikiran (fikrah) memiliki metode (thariqah) yang menyangkut pelaksanaanya. Lain lagi dengan tekhnik atau cara (uslub), yang berupa tatacara tertentu untuk melakukan aktifitas, dan tata cara tersebut bersifat tidak tetap. Dalam konteks pendidikan dan pengajaran, yang dimaksud thariqah atau metode adalah ketentuan-ketentuan baku secara ilahi yang merupakan hukum syara’ yang harus dilaksanakan dalam proses pendidikan dan pengajaran, bersifat tetap dalam setiap zaman, berlandaskan Al-Qur’an dan As Sunah, serta untuk menentukannya tidak diperlukan aqal inovatif (aqal mubdi) tetapi cukup dengan menggunakan akal biasa (aqal ‘adi), karena peranan akal dalam hal ini bukan untuk menentukan aktifitas, tetapi memahami dalil-dalil syara’. Definisi di atas perlu kita pahami,agar aktifitas pelaksanaaan thariqah disadari sebagai pelaksaan hukum syara’ yang merupakan ibadah, bukan semata urusan duniawi yang bebas nilai.
Demikian pula halnya dengan thariqah (metodologi) pengajaran hikmah, mauizhah al hasanah dan jidal adalah merupakan hukum syara’ yang harus dipahami dalam proses pendidikan. Thariqah ini bukan semata-mata tekhnis atau cara, jalan, atau langkah-langkah untuk mencapai tujuan seperti yang sering dipahami secara umum yang kebenaran dan keampuhannya harus dibuktikan melalui pengamatan dalam kenyataan hidup, serta percobaan yang berkali-kali dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Tidak demikian halnya dengan Islam. Ketika thariqah tersebut telah dibuktikan kebenarannya secara syar’i, namun belum berhasil juga mewujudkan tujuan yang hendak diimplementasikan, pada dasarnya yang harus dikaji dan diubah bukanlah thariqah-nya, melainkan uslub dan wasilah-nya, hingga berhasil mewujudkan tujuan yang dikehendakinya.
Hikmah, mau’izhah al hasanah, dan jidal adalah thariqah (metode) yang telah ditetapkan Al-Qur’an dalam aktifitas dakwah dan pengajaran. Jadi ketika sudah dibuktikan kebenaran dan keharusannya menurut hukum syara’, namun metodologi hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal ini belum berhasil, maka bukan berarti metodenya yang salah. Tapi bisa saja disebabkan oleh praktek kita yang tidak sesuai dengan metode tersebut atau tekhnis dan alatnya tidak tepat.
Dalam menunaikan tuntutan hikmah, mau’izhah al-hasanah dan jidal, Rasulullah membagi golongan yang menjadi objek didiknya menjadi 3 golongan, sebagaimana yang telah dijelaskan. Namun, perlu dipahami tekhnik pendekatan yang dibuat oleh Rasulullah dalam usaha mendekati golongan-golongan tadi bermacam-macam pula. Diantaranya:
Pertama: Dengan cara menjawab pertanyaan, yakni orang bertanya pada Rasulullah SAW kemudian Rasul menjawabnya, contohnya seperti hadits dibawah ini:
حدثنا محمد بن محمد بن سليمان ،حدثنا عبد الوهاب بن الضحاك حدثنا إسماعيل بن عياش ، عن صفوان بن عمرو ، عن يحيى بن جابر ، عن عبد الرحمن بن جبير بن نفير ، عن أبيه ، عن النواس بن سمعان ، أنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم ، عن البر فقال : « حسن الخلق » ، فقال : ما الإثم ؟ قال : « ما حاك في نفسك وكرهت أن يعلمه الناس » رواه الاصبهاني .
Artinya :
"Telah mengatakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman, telah mengatakan kepada kami Abdul Wahhab bib Dhahak, telah mengatakan kepada kami Ismail bin Iyas, dari Sofyan bin Amr, dari Yahya bin Jabir, dari Abdurahman bin Jabir bin Nafir dari bapaknya, dari Nawas bin Sam’an : Sesungguhnya telah bertanya kepada Rasullullah tentang kebajikan, Rasulullah bersabda :Kebajikan itu adalah akhlak baik .Terus bertanya tentang dosa, Rasulullah menjawab : dosa adalah yang tidak disenangi di hati dan engkau benci kalau manusia melihatnya. Hadits riwayat Al Ashbahany.

Kedua : Adakalanya Rasulullah SAW sendiri mengajukan pertanyaan, tetapi baginda juga yang menjawabnya. Ini dimaksudkan untuk kesenangan mendengar. Contohnya terdapat dalam hadits berikut :
حدثنا يحيى بن يحيى ، حدثنا المبارك بن سعيد ، عن أبيه ، عن أيوب بن كريز ، عن عبد الرحمن بن غنم ، عن معاذ بن جبل ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له : « ألا أخبرك برأس الأمر وعموده ؟ أما رأس الأمر فالإسلام ، وأما عموده فالصلاة »رواه المسلم.

Artinya :
“Telah mengatakan kepada kami Yahya bin Yahya, kemudian al Mubarak bin Said dari bapaknya dari Ayyub bin Kariz, dari Abdurrahman bin Gonam dari Muadz bin Jabal :Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Maukah kuberitahukan pokok segala perintah dan tiangnya ? (Rasulullah menjawab sendiri). Adapun
pokok segala perintah itu adalah Islam dan tiangnya adalah sholat

Dari penjelasan-penjelasan tadi memberikan gambaran bahwa hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal adalah metode yang telah ditetapkan al-Qur’an dan wajib diamalkan.

SURAT AL ASHR

Tafsir Surat Al Ashr
Disampaikan dari berbagai sumber Oleh JIlan Nasywa Hanifah,S.Pd.I

بسم الله الرحمن الرحيم
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

أخرج ابن مردويه عن ابن عباس قال : نزلت سورة { والعصر } بمكة .
وأخرج الطبراني في الأوسط والبيهقي في شعب الإِيمان عن أبي مليكة الدارمي وكانت له صحبة قال : كان الرجلان من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقيا لم يتفرقا حتى يقرأ أحدهما على الآخر سورة { والعصر إن الإِنسان لفي خسر } إلى آخرها ، ثم يسلم أحدهما على الآخر .

معني العصر:
 الزمان الذي يقع فيه حركات بني آدم، من خير وشر. تفسير ابن كثير - (ج 8 / ص 480)
 الدهر ، أو ما بعد الزوال إلى الغروب ، أو صلاة العصر .
تفسير الجلالين - (ج 13 / ص 175

إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. معني
الْإِنْسَان: الألف واللام في الإنسان ، يحتمل أن تكون للجنس ، وأن تكون للمعهود السابق ، فلهذا ذكر المفسرون فيه قولين الأول : أن المراد منه الجنس وهو كقولهم : كثر الدرهم في أيدي الناس ، ويدل على هذا القول استثناء الذين آمنوا من الإنسان والقول الثاني : المراد منه شخص معين ، قال ابن عباس : يريد جماعة من المشركين كالوليد بن المغيرة ، والعاص بن وائل ، والأسود بن عبد المطلب . وقال مقاتل : نزلت في أبي لهب ، وفي خبر مرفوع إنه أبو جهل ، وروي أن هؤلاء كانوا يقولون : إن محمداً لفي خسر ، فأقسم تعالى أن الأمر بالضد مما توهمون . تفسير الرازي - (ج 17 / ص 198)


خُسْر معني : الخسر : هلاك رأس المال أو نقصه . فالإنسان إذا لم يستعمل نفسه فيما يوجب له الربح الدائم ، فهو في خسران ، لأنه عمل في إهلاك نفسه ، وهما أكبر رأس ماله. زاد المسير - (ج 6 / ص 188
{ إِنَّ الإنسان } الجنس { لَفِى خُسْرٍ } في تجارته . تفسير الجلالين - (ج 13 / ص 176

خسر بمعني الام في الدني والاخرة كما في الاية:
قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ.
( سورة الزمر:15)
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ. (سورة الحج:11)
الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ .( سورة البقرة:27)

معني { إلا الذين آمنوا وعَمِلوا الصّالحاتِ وتَواصَوْا بالحَقِّ } في الحق ثلاثة تأويلات :
أحدها : أنه التوحيد ، قاله يحيى بن سلام .
الثاني : أنه القرآن ، قاله قتادة .
الثالث : أنه الله ، قاله السدي .

معني { وتَوَاصوا بالصَّبْر } فيه وجهان :
أحدهما : على طاعة الله ، قاله قتادة .
الثاني : على ما افترض الله ، قاله هشام بن حسان .
ويحتمل تأويلاً ثالثاً : بالصبر عن المحارم واتباع الشهوات

DOKTRIN ISLAM

DOKTRIN ISLAM
Disampaikan Oleh: Jilan Nasywa Hanifah, S.Pd.I


Definisi Islam
الاسلام الدين الذى انزله الله على سيدنامحمد صلا الله عليه وسلم لتنظيم
علقة الانسان بخالقه وبنفسه وبغير من بنى الانسان.

• Definisi diatas bersifat mani’ dan jami’ definisi itu harus menyeluruh meliputi seluruh aspek yang dideskripsikan, dan memproteksi sifat-sifat diluar substansi yang dideskripsikan.
• Berasal dari nas-nas Syara’, lihat: Al Maidah(05) : 3, Al Imran(03) : 19, 85.
• Memahami pengertian Islam dalam pengetian bahasa dan istilah
 Islam tidak pernah digunakan sekalipun oleh Al Qur’an untuk menyebut nama agama-agama Nabi sebelumnya.
 Kalaupun disebutkan juga dengan ungkapan yang tidak jelas, misal: An Nisa (04): 163, An Nahl (16):123. (Makna bersifat umum, kalau diartikan aqidah dan syari’ah sekaligus, maka bertentangan dengan Al Maidah (05) : 48.
 Lihat juga An Naml (27) : 44, makna Islam disana dalam pengertian bahasa yang artinya tunduk dan patuh.
الإِسلام السَّلْمُ الاستخذاء والانقياد والاسْتِسْلام ُ


Islam dan kekufuran
• Setelah Islam turun, maka agama yang lain dinyatakan tidak sah, ditolak dan tidak diridhai.Dapat dipahami dari sikap marahnya Rasulullah SAW ketika menemukan Umar bin Al Khatab membawa sobekan Taurat, beliau menyatakan :
ماهذا الم ات بها بيضاء نقية؟ لو أدركني أخي موسى حيا ما وسعه الا اتباعي
”Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa al kitab yang jelas dan jernih? Kalau seandainya saudaraku Musa AS hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susuah-susah lagi, kecuali mengikutiku.”(HR. Ahmad dan Al Bazar dari Jabir)

• Islam datang untuk mengalahkan/menghapus ajaran sebelumnya, lihat tafsir Al-Maidah ayat 48:
وقوله: { وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ } قال سفيان الثوري وغيره، عن أبي إسحاق، عن التميمي، عن ابن عباس، أي: مؤتمنًا عليه. وقال علي بن أبي طلحة، عن ابن عباس: المهيمن: الأمين، قال: القرآن أمين على كل كتاب قبله.

وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ } فيه ثلاثة تأويلات: {
أحدها : يعني أميناً ، وهو قول ابن عباس والثاني : يعني شاهداً عليه ، وهو قول قتادة ، والسدي .والثالث : حفيظاً عليه

• Yahudi dan Nasroni jelas-jelas kafir.Lihat Al Maidah 72,73, al Bayyinah 1,6, at Taubah:30.

Islam agama yang sempurna
• Perhatikan QS. Al Imran: 85:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
َ{ومن يَبْتَغِ غَيْرَ الإسلام } أي غيرَ التوحيد والانقيادِ لحكم الله تعالى كدأب المشركين صريحا

أي: من يدين لله بغير دين الإسلام الذي ارتضاه الله لعباده، فعمله مردود غير مقبول، لأن دين الإسلام هو المتضمن للاستسلام لله، إخلاصا وانقيادا لرسله فما لم يأت به العبد لم يأت بسبب النجاة من عذاب الله والفوز بثوابه، وكل دين سواه فباطل

• Islam menjawab segala permasalahan.



Status Kekufuran dibedakan menjadi dua:

• Dari segi agama (kufron haqiqiyan): kekufuran dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua,:
 Kufur ahli kitab, yang meliputi Yahudi dan Nasrani,dan
 Kufur Musyrik, yang meliputi agama selain agama yahudi dan Nasrani, baik Hindu, Budha, Sintoisme maupun yang lain (Perhatikan al baqarah 105, al bayyinah 1dan 6.)

• Dari segi ideologi (dalam bahasa ibnu Abbas disebut dengan istilah kufran duna kufrin), meliputi Ideologi Kapitalisme dan Sosialisme.



Petikan Ayat-ayat:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.( QS. Al- Maidah: 3)


إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.( QS. Al- Imran: 19)


وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. .( QS. Al- Imran: 85)


إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَعِيسَى وَأَيُّوبَ وَيُونُسَ وَهَارُونَ وَسُلَيْمَانَ وَآَتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud..
( QS. An-Nisa: 163)



وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu, .( QS. Al- Maidah:48)


قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الصَّرْحَ فَلَمَّا رَأَتْهُ حَسِبَتْهُ لُجَّةً وَكَشَفَتْ عَنْ سَاقَيْهَا قَالَ إِنَّهُ صَرْحٌ مُمَرَّدٌ مِنْ قَوَارِيرَ قَالَتْ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي وَأَسْلَمْتُ مَعَ سُلَيْمَانَ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam"..( QS. An-Naml: 44)


لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun. ( QS. Al –Maidah:72)


لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
( QS. Al –Maidah:73)

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, ( QS. Al –Bayyinah:1)

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.. ( QS. Al –Bayyinah:6)


وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? ( QS. At-Taubah: 30)