Sabtu, 10 Oktober 2009

Tahun Penuh Para Penipu

Nafais Tsamrah:

Tahun-Tahun Penuh Para Penipu

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (TQS. At-Taubah [9] : 119)

Allah SWT berfirman:

لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..” (TQS. Al-Ahzab [33] : 24)

Allah SWT berfirman:

قَالَ اللَّهُ هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَّضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

Allah berfirman: “Ini adalah suatu hari yang bermanfa`at bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terhadap-Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar.” (TQS. Al-Maidah [5] : 119)

Ibnu Majah meriwayatkan dalam sunannya. Dia berkata: Telah berbicara kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah; telah berbicara kepada kami Yazid bin Harun; telah berbicara kepada kamiAbdul Malik bin Qudamah al-Jumahi, dari Ishak bin Abu Furat, dari al-Maqburi, dari Abu Hurairah. Dia berkata: Bersabda Rasulullah SAW:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ. يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ. وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الأَمِينُ. وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ. قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ في أَمْرِ الْعَامَّةِ .

Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh para penipu. Ketika itu orang yang dusta dibenarkan, dan sebaliknya orang yang benar didustakan; orang yang berkhianat diberi amanat, dan sebaliknya orang yang dapat dipercaya dikhianati. Ketika itu yang berbicara adalah ar-Rawaibidhah.” Beliau ditanya: “Siapa ar-Rawaibidhah itu?” Beliau bersabda: “Ar-Rawaibidhah adalah orang goblok dan tolol yang diserahi untuk mengurusi urusan umat.”

Semoga Allah SWT memberkati pemimpin kita, Muhammad SAW, keluarganya, dan semua sahabatnya.

Lailatul Qadar

Menggapai Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah di bulan Ramadlan dimana Allah swt menurunkan telah menurunkan Alquran di malam tersebut. Menurut Ibnu Abbas Allah swt menurunkan Al Quran sekaligus dari lauh mahfudz ke baitul ‘izzah di langit dunia. Setelah itu ia diturunkan secara berangsur-angsur sesuai realitas yang ada selama 23 tahun kepada Rasulullah saw.[1]

Keistimewaan Lailatul Qadar

Lailatul qadar juga memiliki keistimewaan dibandingkan malam-malam lainnya. Keistimewaan tersebut antara lain amalan di malam tersebut pahalanya lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83,3 tahun di luar malam tersebut. Allah swt berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (۱) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (۲) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (۳) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (۴) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (۵)

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadar 1-5)

Menurut at-Thabary para ulama memiliki pendapat beragam tentang “malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan.” Ada yang mentakwilkan beramal dengan amalan yang diridhai Allah pada malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan selainnya. Mujahid mengatakan maksudnya adalah beramal, berpuasa dan shalat malam padanya lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang mengatakan bahwa lailatul qadar lebih baik dari bulan selain bulan Ramadlan.[2]

Selain itu orang yang shalat malam pada malam tersebut dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari Allah swt akan dihapuskan dosanya yang lalu dan yang akan datang.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang (HR. Ahmad)

Oleh karena itu Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa berupaya untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir. Hal ini karena besarnya keistimewaan lailatul qadar secara khusus disamping keutamaan yang ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

Dari Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw jika masuk sepuluh malam terakhir Ramadlan beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarungnya.” (H.R. Muslim)

Menurut An-Nawawy frase ‘mengencangkan sarung’ adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah lebih dari malam-malam biasanya. Ada juga yang mengartikannya dengan menjauhi keluarganya untuk menyibukkan diri beribadah; menghidupkan malam maksudnya menghabiskannya hingga sahur dengan shalat dan ibadah lain; membangunkan keluarga artinya membangunkan mereka untuk melaksanakan shalat dan ibadah lain di malam hari; serius dalam beribadah artinya menambah dari yang biasanya. Hadits ini menurut beliau menunjukkan anjuran untuk menambah ibadah di malam terakhir Ramadlan.[3]

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Namun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

عَنِ بْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ قَالَ تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari Ibnu Buraidah ia berkata: Aisyah r.a. berkata: “Ya Nabi Allah bagaimana pendapatmu jika saya menjumpai malam lailatul qadar maka apa yang saya ucapkan. Beliau menjawab: Ucapkanlah: “Ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun dan mencintai orang-orang yang memohon ampun maka ampunilah saya”. (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth sanadnya shahih)

Sifat-sifat Lailatul Qadar

Sejumlah riwayat telah memberikan tanda-tanda datangnya lailatul qadar baik pada saat terjadinya maupun setelahnya.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لَيْلَةُ القَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتَهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Rasululullah saw bersabda: “Lailatul qadar adalah malam yang tenang, tidak panas dan tidak dingin. Pagi harinya matahari teduh dan berwarna merah.” (HR. Abu Daud at-Thayalisy. Menurut al-Haitsamy para perawi haditsnya tsiqah)

عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ هِيَ الَّتِي أَخْبَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ بَيْضَاءَ تَرَقْرَقُ

Dari Zar bin Habisy ia berkata: saya mendengar Ubay bin Ka’ab r.a. berkata: “Malam lailatul qadar adalah pada malam ke-27 yaitu malam yang menurut berita dari Rasullah kepada kami mataharinya terbit dengan cahaya yang putih bersinar.” (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth hadits ini shahih)

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ، لاَ بَرْدَ فِيهَا وَلاَ حَرَّ، وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ، وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat pada malam tersebut untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil yaitu malam ke-21, ke-23, ke 25, ke-27, dan ke-29. Rasulullah saw bersabda: “Malam lailatul qadar tanda-tandanya bersih dan tenang, seakan ada bulan yang bersinar, tenang dan lembut, tidak panas dan tidak dingin. Pada malam itu bintang tidak diperkenankan untuk dilemparkan hingga subuh. Pada pagi harinya matahari terbit dengan (cahaya) rata dan tidak terik. Sinarnya seperti bulan di malam purnama. Pada saat itu setan tidak dibebaskan untuk keluar. )HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي كُنْتُ أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، ثُمَّ نُسِّيتُهَا ، وَهِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا ، وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ ، لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ (وَزَادَ الزِّيَادِيُّ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا يَفْضَحُ كَوَاكِبَهَا (وَقَالاَ لاَ يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيئَ فَجْرُهَا.

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin (Azzayad memberi tambahan) ia seperti bulan yang menyingkap bintang-bintangnya. (keduanya berkata) pada malam itu setan tidak keluar hingga terbit fajar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya)

Hadits-hadits diatas merupakan hadits yang layak untuk dijadikan sebagai sifat-sifat lailatul qadar. Memang terdapat sejumlah riwayat yang menjelaskan sifat laitul qadar namun hadits-hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Hadits tersebut antara lain: “Malam itu setan tidak dilepasakan dan tidak terjadi penyakit di dalamnya“(HR. Ibnu Abi Hatim); “pepohonan di malam itu jatuh ke bumi kemudian kembali lagi ke posisinya dan segala sesuatu pada malam itu sujud“(HR. at-Thabarany) dan; “Sesungguhnya air asin pada malam itu menjadi tawar” (HR. al-Baihaqy). Kesemua hadits tersebut tidak sahih apalagi bertentangan dengan fakta yang ada.

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang tidak panas dan juga tidak dingin seperti malam sebelum dan setelahnya, malam itu terasa tenang dan cerah seakan malam itu terbit bulan purnama, tidak ada angin yang bertiup, badai, hujan debu dan kabut. Demikian pula malam itu tidak terlihat meteor jatuh. Malam itu juga jiwa terasa tenang yang merupaka rahmat dari Allah kepada hambanya di malam yang mulai dan penuh berkah tersebut.

Pada pagi harinya matahari bersinar dengan cahaya yang merah dan lemah seperti ketika hendak terbenam sehingga mudah dilihat karena tidak menyakiti mata. Meski realitas sinar matahari tetap sebagaimana biasanya namun keadaan tersebut bisa diakibatkan oleh cuaca yang sejuk, atau karena tersebarnya awan tipis, kabit tipis sehingga menutupi sebagian sinarnya.[4]

Waktu Lailatul Qadar

Di dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa para ulama telah berbeda pendapat kapan terjadinya lailatul qadar dengan lebih dari 40 pendapat. Beliau kemudian menyebutkan masing-masing pendapat tersebut yang berjumlah 46 pendapat. Pendapat tersebut antara lain: lailatul qadar dapat terjadi pada setiap malam, hanya pada seluruh malam di bulan Ramadlan, malam ke-17 Ramadlan, pertengahan 10 malam kedua, malam ke-19, malam ke-21, malam ke-23, malam ke-27, dan malam-malam ganjil di sepuluh terakhir.

Setelah mengemukakan seluruh pendapat tersebut Ibnu Hajar berkata: dan yang saya tarjih dari berbagai pendapat tersebut adalah lailatul qadar berada pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir yang berpindah dari satu malam ke malam yang lain sebagaimana yang difahami dari sejumlah hadits pada bab ini. Bisa jadi pada malam 21 sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan Syafi’iyyah atau malam 27 sebagaimana yang dipegang oleh Jumhur berdasarkan hadits-hadits yang mereka jadikan pegangan.

Dengan demikian penetapan malam lailatul qadar membutuhkan adanya tarjih dari sejumlah pendapat tersebut dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang maqbul.

Dalam masalah ini terdapat sejumlah hadits yang disepakati oleh Buhari-Muslim dan ada pula yang diriwayatkan sendiri-sendiri oleh mereka serta hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka berdua. Prinsip yang dijadikan pengangan dalam mentarjih hadits-hadits tersebut adalah beristidlal dengan hadits yang disepakati oleh Bukhari Muslim lebih diutamakan dari yang lain. Demikian pula jika terjadi pertentangan atau perbedaan antara hadits shahih dengan hadits hasan maka yang diambil adalah hadits shahih jika keduanya tidak dapat disatukan.

Selain itu jika terdapat hadits Nabi tentang satu masalah kemudian terdapat pendapat sahabat yang bertentangan dengan hadits tersebut maka pendapat sahabat tersebut diabaikan.

Dari sejumlah nash yang ada terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. (HR. Bukhari-Muslim)

Dari hadits di atas Rasulullah saw menjelasakan bahwa beliau pernah mengetahui malam lailatul qadar kemudian dibuat lupa mengenai waktu terjadinya. Dengan demikian jika Rasulullah saw saja lupa kapan pastinya lailatul qadar maka selain beliau tentu tidak dapat memberikan penetapan kapan waktu terjadinya. Namun demikian beliau memberikan batasan bahwa ia terjadi pada sepuluh malam terakhir Ramadlan.

Tidak ada hadits yang kualitasnya sama yang bertentangan dengan hadits ini. Adapun hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits tersebut kualitasnya lebih rendah. Demikian pula hadits-hadits tersebut tidak dijelaskan apakah dikeluarkan lebih dahulu atau setelah hadits tersebut. Dengan demikian nasakh tidak dapat ditetapkan pada masalah ini.

Memang sejumlah sahabat dan fuqaqah telah menetapkan kapan waktunya lailatul qadar berdasarkan tanda-tanda yang telah dinyatakan dalam sejumlah hadits. Namun demikian penetapan tersebut bersifat dzanny dan tidak sampai pada derajat qath’iy. Sebagai contoh Ubay bin Ka’ab yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27.

عَنْ زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ - رضى الله عنه - فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِى رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِى أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِى أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Dari Zirra bin Hubaisy ia berkata: saya bertanya kepada Ubay bin Ka’ab r.a. dan mengatakan: Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata: barangsiapa yang mendirikan shalat malam setahun maka ia akan mendapati Lailatul Qadar. Maka beliau berkata: semoga Allah merahmatinya, Allah tidak bermaksud membebani manusia. Bukankah ia telah mengetahui bahwa lailatul qadar pada bulan Ramadlan dan berada pada sepuluh terakhir darinya yakni pada malam ke-27. kemudian beliau bersumpah bahwa tidak terjadi kecuali pada malam ke-27, maka saya berkata: apa dasarmu wahai Abu Mundzir? Ia menjawab: tanda-tanda yang telah diinformasikan Rasul kepada saw mengenai lailatul qadar ada pada saat itu dan ia tidak tersebar (HR. Muslim)

Dari hadits diatas jelas bahwa penetapan malam ke-27 tersebut bukan merupakan statemen Rasul saw namun merupakan kesimpulan Ubay dari tanda-tanda yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Adapan sumpah beliau tidak lantaran menjadikan waktu tersebut qath’iy pada malam ke-27 karena ia merupakan hasil ijtihad yang sifatnya dzanny. Andaikan pendapat beliau adalah hal yang qathiy niscaya sahabat yang lain tidak ada yang menyelisihinya.

Para sahabat juga berbeda dalam menetapkan lailatul qadar berdasarkan pemahaman mereka terhadap keterangan yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. Said al-Khudri misalnya menyatakan bahwa lalilatul qadar jatuh pada malam ke-21 sementara Abdullah bin Unais yang berkesimpulan bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-23.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِى صَبِيحَتَهَا أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ. قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ انْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّينِ لَعَلَى أَنْفِهِ وَجَبْهَتِهِ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ يَقُولُ : ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

Dari Abdullah bin Unais bahwa Rasulullah saw bersabda: “Saya melihat malam lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa dan saya bermimpi pada subuh harinya sujud di atas tanah dan air. lalu Abdullah berkata: telah terjadi hujan pada malam ke-23 dan Rasulullah saw shalat bersama kami dan setelah itu beliau berpaling dan nampak bekas air dan tanah pada jidad dan hidungnya. Abdullah bin Unais berkata: malam itu ke-23. (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعْنَا وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءٍ قَزَعَةَ؛ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ

Dari Abu Said ia berkata: Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw pada sepuluh malam kedua, lalu beliau keluar pada subuh hari ke-20 dan berkhutbah: “Sesungguhnya saya telah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa, maka carilah pada sepulu malam terakhir di malam ganjil. Saya bermimpi saya sujud di atas tanah dan air. Barangsiapa yang beri’itikaf bersama Rasulullah saw maka kembalilah, maka kami pun kembali. Kami tidak tidak melihat di langit ada awan tipis namun setelah itu datang awan mendung dan turun hujan hingga merembes ke atap mesjid yang terbuat dari pelepah kurma. Shalat kemudian dilaksanakan dan saya melihat beliau sujud di atas tanah dan air sehingga nampak bekas tanah pada jidadnnya. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Bukhari lainnya Ibnu Said berkata: مِنْ صُبْحِ إِحْدى وَعِشْرِيْنَ (Peristiwa itu) pada subuh hari malam ke-21).

Namun demikian terdapat banyak riwayat lain yang bersifat mutlaq yang tidak membatasi kapan Rasulullah sujud di atas tanah dan air. Sementara pada hadits di atas terdapat batasan (taqyid) yang berbeda yaitu malam ke-21 dan malam ke-23. Meski demikian hadits di atas dapat dikompromikan. Sehingga prinsip mengamalkan seluruh dari dalil lebih dari mengabaikan sebagian dapat diterapkan. Rasulullah dalam banyak riwayat tidak membatasi kapan beliau bermimpi sujud di atas air dan tanah. Namun ketika subuh hari malam ke-21 dan malam ke-23 terjadi hujan sehingga Abu Said menganggap malam ke-21 adalah lailatul qadar sementara Abdullah bin Unais berpandangan bahwa malam ke-23 adalah lailatul qadar.

Hal lain yang perlu ditegaskan adalah pernyataan Rasulullah saw bermimpi sujud di atas air dan tanah adalah pernyataan terpisah dari pernyataan beliau tentang lailatul qadar. Sehingga sujud di atas tanah dan air tidak dapat dijadikan sebagai tanda lailatul qadar.

Apalagi terdapat sejumlah riwayat yang jelas yang menyatakan bahwa rentang waktu terjadinya lailatul qadar adalah malam ganjil sepuluh malam terakhir dimana Rasulullah saw mendorong manusia untuk mencarinya di waktu-waktu tersebut. Rasulullah saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِى لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّى خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلاَنِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِى التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

“Wahai sekalian manusia dulu telah jelas padaku lailatul qadar. Kemudian ketika saya bermaksud keluar menginformasikannya kepada kalian, maka datang dua orang yang bersama setan lalu saya dilupakan tentang malam tersebut. maka carilah pada malam ke-21, ke-23 dan ke-25.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dinyatakan:

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Naamun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun pun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

Kedua hadits diatas menujukkan bahwa Rasulullah saw menyerukan kaum muslim untuk bersungguh-sungguh pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir.

Rasulullah bahkan mengatakan bahwa bahwa lupanya beliau terhadap lailatul qadar merupakan kehendak Allah dan hal tersebut merupakan hal yang baik bagi kaum muslim. Dengan demikian kaum muslim dapat memperbanyak amalan di malam-malam yang kemungkinan terjadinya lailatul qadar dan tidak hanya fokus beribadah di satu malam saja yang dianggap lailatul qadar.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ أَوْ السَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ

Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: Rasulullah saw keluar bersama kami dan beliau bermaksud menginformasikan kepada kami lailatul qadar. Lalu datang dua orang berselisih maka beliau bersabda: “Saya keluar dan bermaksud menginformasikan lailatul qadar lalu datang dua orang berselisih maka (waktu lailatul qadar tersebut) diangkat dari saya. Semoga itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah ia pada malam ke-21, ke-23 atau ke-25. (H.R. Bukhari)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْمَنَامِ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa orang-orang dari Sahabat Nabi saw bermimpi melihat lailatul qadar pada pada tuju malam terakhir maka Rasulullah saw bersabda. Saya pun melihat mimpi kalian dan sama yaitu pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang berupaya mendapatkannya maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR. Bukhari)

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا.

Dari Salim dari Bapaknya r.a. berkata: Seorang laki-laki berkata bahwa lailatul qadar pada pada malam ke-27. Maka Nabi saw bersabda: “Saya melihat mimpi kalian bahwa ia berada pada sepuluh malam terakhir maka carilah pada hari-hari ganjilnya.” (HR. Muslim)

ابْنَ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى ».

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata. Rasulullah saw bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sebelum malam terakhir. Jika diatara kalian ada yang merasa lemah maka janganlah mengabaikan tujuh malam terakhir.” (H.R. Muslim)

Riwayat tersebut menyebutkan perintah untuk mencarinya di malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan tujuh malam terakhir. Dimana antara tujuh malam terakhir dan sepuluh malam terakhir tidak ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadar ada pada malam-malam tersebut. Hal ini diperkuat oleh hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw meningkatkan keseriusannya beribadah pada malam sepuluh terakhir yang berlangsung hingga beliau wafat.[5]

Penutup

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw pernah mengetahui kapan terjadinya lailatul qadar kemudian Allah swt membuat beliau lupa hingga ia diwafatkan. Dengan demikian siapapun selain beliau termasuk sahabat tidak dapat menentukan kapan pastinya lailatul qadar. Meski demikian beliau telah memberikan rentang waktu terjadinya malam lailatul qadar yakni di sepuluh terakhir bulan Ramadlan pada malam-malam ganjil. Dengan kata lain lailatul qadar dapat terjadi pada malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27 dan ke-29.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ.

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil 21, 23, 25, 27, dan 29.” (HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah). Wallahu a’lam bisshawab. (muis)


[1] Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al-Adzhim, VIII/441, al-Maktabah as-Syamilah.

[2] Ibnu Jarir, Tafsir at-Thabaty, XXVI/533, al-Maktabah as-Syamilah.

[3] An-Nawawy, Syarh an-Nawawy ‘ala Muslim-, VIII/80, al-Maktabah as-Syamilah

[4] Mahmud Latif Uwaidhah, al-Jami’ li ahkami as-Shiyam, hlm. 258

[5] Penjelasan lebih detail mengenai masalah ini lihat Mahmud Latif Uwaidhah, al-jami’ li ahkam as-Shiyam, hlm.260

I'tikaf

I’tikaf

Memasuki sepuluh terakhir Ramadhan Rasulullah saw meningkatkan aktivitas ibadahnya dibandingkan hari-hari sebelumnya.

عَنْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (Ramadhan) lebih dari kesungguhan beliau pada hari lain.” (HR. Muslim)

Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh beliau kepada ummatnya pada bulan Ramadhan adalah I’tikaf. I’tikaf secara bahasa adalah mendiami sesuatu dan menahan diri untuknya. Secara syar’i I’tikaf berarti berdiam diri di masjid beberapa saat dengan sifat tertentu dengan niat bertaqarrub kepada Allah swt

Hukum I’tikaf

I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan sejumlah riwayat antara lain:

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw beri’tikaf sepuluh terakhir Ramadhan hingga Allah azza wa jalla mewafatkan beliau kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (H.R. Bukhari & Muslim)

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ النبى -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ عَامًا فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ قَابِلٍ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.

Dari Ubay bin Ka’ab r.a. bahwa nabi saw melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan kemudian beliau melakukan perjalanan setahun maka beliau tidak beri’tikaf. Namun pada tahun berikutnya beliau melakukannya 20 hari.” (HR. Baihaqy dan al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dan menurutnya shahih)

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ - رضى الله عنه - قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِى قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ - قَالَ - فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِى نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ فَدَنَوْا مِنْهُ فَقَالَ « إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Dari Abu Said al-Khudry r.a. ia berkata: Rasulullah saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertama Ramadhan kemudian beri’tikaf pada sepuluh kedua di Kubah Turki yang di sisinya terdapat pembatas. Ia berkata: maka beliau mengambil pembatas dengan tangannya dan meletakkannya di kubah dimana tampak kepala beliau lalu ia berbicara kepada orang-orang sehingga mereka menundukkan diri mereka. Beliau bersabda: “Sesungguhnya saya i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mendapatkan malam ini, kemudian saya I’tikaf pada sepuluh malam kedua kemudian saya didatangi dan dan dikatakan kepada saya bahwa I’tikaf pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa diantara kalian yang senang melakukannya maka i’tikaflah. Lalu orang-orang I’tkaf bersama beliau (H.R. Muslim dan Ibnu Khuzaimah)

Berdasarkan riwayat di atas, itikaf merupakan aktivitas taqarrub yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah di bulan Ramadhan khususnya di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Hukum ibadah tersebut sunnah. Kesimpulana tersebut diperoleh dari sabda Rasulullah saw yang mengatakan: “barangsiapa diantara kalian yang senang beri’tikaf maka beri’tikaflah.”

Tempat I’tikaf

Itikaf hanya dapat dilakukan di masjid. Tidak ada batasan jenis mesjid yang dapat digunakan untuk i’tikaf apakah masjid jami’, tempat dilakukan shalat jumat atau bukan. Hal ini karena nash-nash yang menjelaskan tentang i’tikaf senantiasa dikaitkan dengan mesjid. Sementara itu lafadz mesjid tersebut berbentuk mutlak dan tidak ada taqyid terhadap jenis mesjid tersebut apakah mesjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah, shalat jum’at atau selainnya.

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)

“Dan janganlah kalian melakukan hubungan seks dengan mereka ketika kalian sedang i’tikaf di mesjid. Itulah ketentuan-ketentuan Allah maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 187)

عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».

Dari Abu Said ia berkata: “Rasulullah saw sedang i’tikaf di mesjid lalu beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaaanya. Iapun membuka tabir dan bersabda: “Ketahuilah bahwa masing-masing kalian sedang bermunajat kepada tuhannya maka janganlah sebagian kalian mengganggu yang lain dan mengeraskan suaranya di atas suara yang lain dalam membaca (atau ia berkata) dalam shalat.” (HR. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya)

Waktu Pelaksanaan I’tikaf

I’tikaf dalam dilakukan kapan saja baik siang atau malam di sepanjang tahun. Ini karena dalil yang berkenaan dengan I’tikaf tidak memberikan pembatasan (taqyid) atau pengkhususan (takhsis) dalam pelaksanaannya.

Adapun riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat melakukan I’tikaf pada bulan Ramdlan maka hal tersebut menunjukkan sangat dianjurkannya waktu tersebut. terlebih lagi di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dimana di sana terdapat lailatul qadar.

Meski demikian di luar bulan Ramadhan juga diperkenankan untuk i’tikaf. Hal ini misalnya diperoleh dari hadits riwayat:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفُ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ؟ قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذَرِكَ

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Dulu saya pernah bernadzar di masa jahiliyyah untuk i’tikaf malam di masjid al-haram, Rasul saw bersabda:”Ttunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari)

Perintah Rasul kepada Umar tersebut berbentuk umum dan tidak ada batasan bahwa harus dilaksanakan di bulan Ramadhan.

Rasulullah saw memulai I’tikaf beliau sesaat setelah melaksanakan shalat Subuh. Karena perbuatan tersebut adalah liqasdi al-qurbah, yakni semata-mata untuk bertaqarrub maka status hukumnya sunnah. Meski demikian hal tersebut bukan syarat sehingga i’tikaf dapat dimulai kapan saja.

Adapun lama waktu I’tikap tidak dibatasi oleh syara’ sehingga ia dapat dilakukan berapapun lamanya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa i’tikaf minimal satu hari sementara imam Malik yang mengatakan minimal sehari semalam yang kemudian meralatnya menjadi minimal sepuluh hari. Namun demikian tidak diketemukan dalil yang mengharuskan batas tersebut.

Aktivitas orang yang beri’tikaf

Kegiatan itikaf diisi dengan amalan-amalam taqarrub seperti shalat, membaca al-Quran, dzikir dan menuntut ilmu.

Meski demikian orang yang sedang i’tikaf boleh keluar untuk memenuhi hajat yang harus dipenuhi yaitu: buang air kecil, buang air besar, muntah, mandi, wudlu dan yang sejenisnya seperti keluar untuk mengambil selimut jika dingin, alat pendingin jika udara panas, melakukan hal-hal yang wajib seperti menghadiri shalat jumat. Dengan demikian segala aktivitas mengharuskan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar memenuhi hajatnya maka tidak membatalkan i’tikaf. Namun jika ia keluar tanpa ada kebutuhan maka i’tikafnya batal.

Aktivitas di dalam masjid yang dilarang untuk dilakukan seperti meludah, jual beli, membunyikan ruas-ruas tulang tangan maka hal tersebut juga dilarang untuk dilakukan bagi orang yang sedang I’tikaf. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ فَإِنَّ التَّشْبِيكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَزَالُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ فِي الْمَسْجِدِ

“Apabila salah seorang diantara kalian berada di masjid maka janganlah ia membunyikan ruas-ruas tangannya. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan setan. Sesungguhnya salah seorang dari kalian masih senantiasa shalat selama ia berada di masjid.” (HR. Ahmad dan menurut al-Haitsamy sanadnya hasan)

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّحَلُّقِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakenya bahwa Nabi saw melarang mencukur rambut di hari Jumat sebelum shalat dan jula beli di masjid. (HR. an-Nasai. Menurut Albani hadits ini shahih)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُزَاقُ فِى الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Meludah di masjid adalah dosa dan penghapus dosa itu adalah memendamnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Demikian pula semua aktivitas yang mubah dilakukan di dalam mesjid maka mubah pula dilakukan oleh orang yang sedang melakukan i’tikaf seperti makan dan tidur.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيَّ يَقُولُ كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

Dari Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in az-Zubaidy berkata: “Pada masa Rasulullah saw kami makan roti dan daging di masjid.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Arnauth)

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: جَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، بَيْتَ فَاطِمَةَ، فَلَمْ يَجِدْ علِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ، فَغَاضَبَنِي، فَخَرَجَ، فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ مُضْطَجِعٌ، قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ، وَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَابٍ

Dari Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw mendatangi Fatimah namun beliau tidak menjumpai Ali di rumah maka beliau bertanya: “Dimana Anak pamanmu?” Aisyah menjawab: “Saya dengan dia ada masalah, ia marah kepadaku lalu keluar dan tidak mengatakan apa-apa pada saya.” Maka Rasulullah saw berkata kepada seseorang: “Carilah dia”. Kemudian orang tersebut datang dan berkata: “Ya Rasulullah ia sedang duduk di masjid.” Maka Rasulullah saw mendatanginya sementara Ali dalam keadaan berbaring sementara selendangnya jatuh dari bahunya dan menimpa tanah. Rasul kemudian mengusapnya dan berkata: “Bangunlah Abu Turab! Bangunlah Abu Turab!” (H.R. Bukhari)

Di samping itu secara khusus terdapat sejumlah riwayat yang menggambarkan sejumlah aktivitas mubah yang dilakukan Rasul pada saat beliau I’tikaf.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Nabi saw menyandarkan kepalanya kepadaku sementara (sebagian tubuh) beliau berada di masjid. Saya menyisir beliau sementara saya dalam keadaan haid.” (H.R. Bukhari)

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبَِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِي حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ (فِي رِوَايَةِ اللَيْثِ َزَادَ) وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَة ٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً( وَفِيْ رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى) وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ

Dari Aisyah ia bahwa ia memangku Nabi saw sementara ia sedang haid. Nabi i’tikaf di masjid sementara ia berada di kamarnya dimana ia menggapai kepada Nabi. Dalam riwayat Laits ada tambahan bahwa beliau jika sedang i’tikaf tidak masuk ke rumah kecuali ada keperluan. (dalam riwayat Yahya bin Yahya) beliau tidak masuk kecuali untuk memenuhi kebutuhan manusia.” (HR. Bukhari)

عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan sejumlah aktivitas yang mubah selama melaksanakan i’tikaf seperti menyisir rambut, berjalan, mencium istrinya dan diriwayat lain dimandikan oleh Aisyah. WaLlahu a’lam bisshawab

Khutbah Idul Fitri

Jauhi Kemaksiatan!
Kembali pada Fitrah, Kembali kepada Syari’ah!

Disampaikan Oleh: M.Ihsan Azhari, S.Pd.I

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.
الله أكبر 9×
اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّأَصِيْلاً، لاَإلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ، اللهُ اَكْبَرُ وِللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ الْيَوْمَ عِيْداً لِلْمُسْلِمِيْنَ وَحَرَّمَ عَلَيْهِمْ فِيْهِ الصِّياَمَ، وَنَزَّلَ الْقُرْآنَ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّناَتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ، نَحْمَدُهُ وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهِ وَهُوَ ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْراَمِ.
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ. لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ وَ لاَ رَسُوْلَ بَعْدَهُ. وأُصَلِّيْ وَاُسَلِّمُ عَلَى الْقَائِدِ وَالْقُدْوَةِ مُحَمَّدٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحاَبِهِ وَذُرِّيَّتِهِ، وَمَنْ دَعاَ اِلَى اللهِ بِدَعْوَتِهِ وَمَنْ جاَهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَقَّ جِهاَدِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
اَمَّا بَعْدُ: أَيُّهَا النَّاسُ، إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
\
!
Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
Yaa Allah, Yaa Rahman, inilah hamba-hambu-Mu, datang bersimpuh di hadapan kebesaran-Mu. Inilah, yaa ‘Aziiz, makhluk-makhluk-Mu yang lemah dan tak berdaya, duduk di hadapan altar kemuliaan dan keagungan-Mu. Yaa Ghaani, inilah orang-orang fakir yang menundukkan kepala karena malu kepada-Mu, kini menengadahkan tangan-tangan kami untuk memohon belas kasih-Mu.

Yaa Allah, Yaa Rahman, yaa Rahiim. Kami semua hamba-hamba Mu yang lemah, datang memohon rahmat Mu. Sekalipun dengan tertatih-tatih, kami berupaya mendekatkan diri kepada-Mu, berharap kasih sayang-Mu. Setiap malam kami berusaha membaca al-Quran untuk memahami petunjuk-Mu. Setiap saat kami menyeru asma Agung-Mu. Semua itu, yaa Rahman, tak lain hanyalah untuk menggapai ridla Mu.
Hadirin yang dimuliakan Allah. Di bulan Ramadhan, kita semua merasa sangat berbahagia, tak terasa berlinang air mata, mengingat akan kealpaan, dosa, kelalaian, dan kemaksiatan diri. Inilah bulan tempat kita berkaca dan memperbaiki diri. Inilah Bulan penuh ampunan. Ampunan atas seluruh dosa kita sebelumnya, sehingga kita bagaikan manusia yang terlahir kembali.

Subhanallah. Allahu Akbar.
Ada getar keharuan dalam hati kita. Ramadhan yang penuh berkah, berlimpah rahmat, dan ampunan Allah, telah meninggalkan kita. Akankah kita bertemu dengan Ramadhan berikutnya? Wallahu a’lam. Kita tidak tahu.

Tapi ada pertanyaan penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita. Apa yang kita dapatkan melalui puasa kita sepanjang bulan Ramadhan kemarin? Benarkah kita menjadi makin bertakwa? Bila benar, mengapa semua itu tidak berkorelasi dengan upaya perbaikan kondisi masyarakat dan umat di sekitar kita? Kemiskinan tetap merajalela, korupsi makin menggila, penindasan tak kunjung reda, kerusakan moral, pornografi dan pornografi serta beragam bentuk kriminalitas makin tak terkira. Lihatlah apa yang terjadi di sekeliling kita. Hidup semakin terasa berat. Beban ekonomi dan sosial seolah tak tertahankan. Sementara, segelintir orang bergelimang dalam kemewahan. Dengarlah pula jerit tangis saudara-saudara kita seiman di Palestina, ingatlah wahai saudaraku! Pada minggu-minggu ramadhan kemarin, akibat Blokade gaza yang dilakukan yahudi Israel, 351 kaum muslimin syahid, diantaranya seorang balita satu tahun setengah, bernama Minatullah Ali Balbisi yang sedang menderita sakit parah karena menderita lubang dijantungnya, ia meninggal karena pihak israel melarangnya pergi keluar negeri untuk berobat.Ingatlah pula wahai saudaraku! Beberapa saat yang lalu ratusan kaum muslimin di Thailan dan Turkistan Timur ditembaki, sebagaimana terjadi pula 700 kaum muslimin di nigeria ditembaki dimesjid-mesjid mereka oleh rezim sekuler yang benci Islam. Belum lagi penangkapan ratusan aktifis Islam di Turki dan Arab Saudi karena tuduhan terorisme. Serta banyak lagi kasus-kasus serupa di belahan negeri muslim termasuk Indonesia.
Saudaraku! Mereka melewati bulan Ramadhan di tengah ancaman senjata. Para Thagut AS dan sekutu-sekutunya serta kaum zionis tanpa henti terus menumpahkan darah, melecehkan kehormatan dan merampas kekayaan kaum muslimin. Sampai kapan semua ini akan berakhir?

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,…!
Inilah sekilas wajah umat Islam saat ini. Umat yang disebut Allah sebagai khayra ummah, kini menjadi pecundang bukan pemenang, terpuruk di segala bidang. Mengapa semua ini terjadi? Jika kita meneliti dengan cermat, sesungguhnya penyebab utama dari keterpurukan umat Islam adalah pada fakta, bahwa umat Islam tidak lagi bersatu dalam satu kepemimpinan seorang Khalifah, dan kehidupan umat tidak diatur dengan aturan Islam tapi dengan sistem Kapitalisme Sekular. Aturan Allah SWT diabaikan. Padahal Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (TQS. Thaha[20]:124)

Allahu Akbar 3x Walillahil Hamd
Kini, Isu terorisme juga telah menjadi senjata ampuh bagi negara-negara imperialis Barat, yang dipimpin oleh AS beserta sekutunya, seperti Australia, untuk menguasai dan mencengkram negeri-negeri Islam. Bahkan, kini AS dan sekutunya kembali menjadikan perang melawan terorisme sebagai kedok untuk memerangi Islam, dengan memerangi syariah dan Khilafah. Karena mereka sadar, bahwa kembalinya syariah dan Khilafah yang kedua di muka bumi ini tidak bisa dibendung lagi. Maka, secara lebih spesifik, isu itu digunakan untuk menggiring opini publik dunia pada suatu perang global terhadap kaum Muslim yang memperjuangkan kembalinya supremasi Islam, bukan saja sebagai agama ritual, tetapi juga ajaran politik yang agung. Mereka paham, bahwa perjuangan penegakan syari’ah secara nyata telah mengancam hegemoni sistem Kapitalisme yang menjajah dunia, khususnya dunia Islam, saat ini.

Ketika terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, pada Jum’at 17 Juli lalu, seperti biasa pihak pers barat, diantaranya situs The Australian, langsung melemparkan tuduhan bahwa peledakan bom itu dilakukan oleh Jamaah Islamiyah (JI). Padahal terdapat ribuan kemungkinan tentang siapa yang berperan sebagai otak pelakunya. Misalnya, bisa saja peledakan bom itu sengaja dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu untuk mengacaukan masyarakat dan negeri ini demi kepentingan politik mereka. Atau bisa saja peristiwa itu didesain oleh jaringan intelijen internasional untuk mendiskreditkan kaum Muslim dengan cara melakukan rekayasa sistematis serta provokasi untuk terus menyudutkan Indonesia sebagai sarang terorisme.

Karena Islam dengan tegas melarang siapapun, dengan motif apapun membunuh orang tanpa haq, merusak milik pribadi dan fasilitas milik umum, apalagi jika tindakan itu menimbulkan korban dan ketakutan yang meluas. Dalam peperangan saja, banyak nash yang melarang kaum Muslim membunuh anak-anak, wanita, dan orang tua. Islam juga melarang membunuh warga sipil yang tidak ikut dalam peperangan. Ibn Umar menuturkan, Nabi Saw pernah bersabda:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانِ
“Rasulullah Saw. melarang tindakan membunuh wanita dan anak-anak. “(HR. Bukhari).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,…!
Renungilah!Memang benar, saat ini kaum Muslim masih shalat dengan menggunakan aturan Islam, mengerjakan puasa dengan aturan Islam, beribadah haji dengan aturan Islam, menikah dengan aturan Islam, mengurus jenazah dengan aturan Islam; tetapi, dalam urusan pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pidana mereka mencampakkan Islam. Sikap seperti ini jelas menggambarkan sikap menerima sebagian Islam dan menolak sebagian yang lain. Padahal Allah SWT telah memperingatkan kita terhadap perbuatan tersebut. Allah berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ [
َ"Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (TQS. Al-Baqarah [2]: 85)

Sikap mengambil sebagian dari Islam dan mencampakkan sebagian yang lain, juga merupakan sikap yang bertentangan dengan fitrah manusia. Sebab fitrah manusia itu membutuhkan Dzat yang Maha Kuasa, yaitu Allah SWT; karena manusia memang makhluk yang lemah dan terbatas. Membutuhkan kepada sesuatu Yang Maha Kuasa, berarti juga membutuhkan hukum dan aturan-aturan yang berasal dari-Nya. Jadi, ketika manusia mencampakkan aturan-aturan Allah, maka dia telah menyimpang dari fitrahnya, dan inilah yang menjadi sumber bencana baginya.

Allahu Akbar (3x), wa lillahil hamd
Karena itu, Jika dengan menjalankan ibadah puasa Ramadhan, kaum Muslim ingin kembali pada fitrahnya, maka semestinya kembali kepada fitrah ini juga harus dipahami dengan kembali kepada hukum dan aturan-aturan Allah dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, kembali kepada fitrah adalah kembali kepada syariah Allah, yaitu syariah Islam, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan kita. Inilah fitrah manusia yang seutuhnya, dan inilah kunci kemenangan umat Islam.

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…
Selanjutnya, pahamilah! Tidak ada ajaran bahwa kita wajib mentaati Allah dan rasulNya hanya di bulan Ramadhan saja, setelah itu kita kembali berbuat dosa. Ramadhan sebagai titik tolak kembali ke fitrah sejati. Bahwa dari Ramadhan kita bangun komitmen ketaatan seumur hidup seperti ketaatan selama Ramadhan. Dalam surah An Nahl 92, Allah berfirman:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا
“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”.

Ini sebuah pelajaran yang sangat mahal. Allah merekam kisah seorang wanita yang hidupnya sia-sia. Dari pagi sampai sore ia hanya memintal benang. Sore hari ketika pintalan itu selesai, ia cerai-beraikan kembali. Perhatikan! Allah melarang agar akhlak wanita tersebut tidak terulang kembali. Bahwa perbuatan sia-sia adalah kerugian yang nyata. Karena itu Nabi saw. selalu mengingatkan agar kita selalu istiqaamah. Ketika salah seorang sahabatnya minta nasihat yang bisa dijadikan pegangan seumur hidupnya, Nabi menjawab:
قل ا منت بالله ثم استقم
"qul aamantu billahi tsummastaqim" (katakan aku beriman kepada Allah dan beristiqamahlah).

Dalam hadist lain Nabi saw. juga sering mengingatkan sahabat-sahabatnya:
لا تكن مثل فلان كان يقوم اليل ثم ترك
laa takun mitsla fulaan, kaana yaquumullaili tsumma taraka” (jangalah kamu menjadi seperti fulan, tadinya ia selalu bangun malam, tapi sayang ia kemudian meninggalkannya).

Demikianlah, setiap tahun kita menjalani ibadah Ramadhan dengan penuh semangat siang dan malam: siangnya kita berpuasa, malamnya kita tegakkan shalat malam, tetapi benarkah nuansa ketaatan itu akan terus bertahan seumur hidup kita? Atau ternyata itu hanya untuk Ramadhan? Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin ke masjid, tetapi begitu Ramadhan habis, seakan tidak kenal masjid lagi. Berapa banyak orang Islam yang selama Ramadhan rajin membaca Al Qur’an, tetapi begitu Ramadhan selesai, Al Qur’an dilupakan begitu saja. Mirip dengan kisah wanita yang Allah ceritakan di atas. Selama Ramadhan ketaatan dirangkai, begitu Ramadhan habis, semua ketaatan yang indah itu dicerai beraikan kembali.

Saudaraku Kaum Muslimin rahimakumullah…
Dari amalan Ramadhan setidaknya ada 5 pelajaran penting yang harus dipertahankan dalam hidup sehari-hari oleh setiap pribadi beriman, sebagai modal yang dengannya kelak akan lahir masyarakat yang bersih sesuai tuntunan Syari’ah:
Pertama, (Tarkul halal min ajlil ibti’ad ‘anil haram) Jauhi Harta Haram . Selama Ramadhan kita telah berpuasa dari yang halal. Maka tidak ada alasan untuk mengambil yang haram. Masyarakat yang hidup di atas harta haram adalah masayarakat yang rapuh. Dalam sejarah kita membaca, hancurnya raja-raja terdahulu adalah kerena kedzaliman mereka terhadap rakyatnya. Banyak hak rakyat yang tidak dipenuhi. Akibatnya Allah swt. menghancurkan mereka. Dalam Al Qur’an kita membaca firman Allah:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (100)
“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 100)

Dalam ayat ini Allah befirman bahwa harta haram itu sebagai al khabits (kotoran yang menjijikan). Artinya seandainya harta haram itu Allah menampakkan berupa kotoran niscaya manusia yang berakal tidak akan mengambilnya. Karenanya itu tidak akan pernah sama dengan ath thayyib (yang halal dan baik) sekalipun jumlahnya jauh lebih sedikit. Mengapa? Sebab yang khobits merusak tatanan kehidupan, sementara yang thayyib menyebarkan kebaikan. Oleh sebab itu Allah lalu perintahkan agar bertaqwa: fattaqullah yaa ulil albaab. Apa artinya? Bahwa taqwa tidak akan tercapai selama seseorang masih mengkonsumsi harta haram. Dengan kata lain, hanya dengan menjauhi harta haram seseorang akan terhantar ke level taqwa.Hal inilah yang harusnya mendorong kita membersihkan pribadi kita dari riba serta penuh keyakinan mengingtkan penguasa negeri ini agar meninggalkan harta haram yang diperoleh dari riba untuk membangun negeri ini.Ingatlah Firman Allah :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96)
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf: 96)
Kedua, (Al isti’la’ ‘alal hawa) Kendalikan Nafsu dari maksiat. Selama Ramadhan kita telah berhasil mengendalikan nafsu dari maksiat. Itu menunjukkan bahwa nafsu sebenarnya sangat lemah. Bahwa manusia bukan makhluk yang dikendalikan nafsu, melainkan dialah yang mengendalikan nafsunya. Berbeda dengan binatang, yang memang tidak punya akal, manusia adalah makhluk yang harus mengatur gejolak nafsunya. Dengan demikian masyarakat yang hidup di atas bimbingan nafsunya adalah masyarakat binatang. Ia makan apa saja tanpa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Ia berbuat apa saja tanpa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Karena itu di tengah masyarakat yang dibimbing nafsunya belaka, mereka menyebar makanan dan minuman haram, seperti babi dan khamr, bahkan itu dianggap biasa. Bukan hanya itu, perzinaan dihalalkan tanpa merasa berdosa sedikitpun. Inilah masyarakat yang rapuh. Dalam Al Qur’an Allah selalu menceritakan hancurnya kaum-kaum terdahulu adalah karena mereka hidup di atas kebebasan nafsunya. Mereka tidak menggunakan akal. Mereka seperti binatang bahkan lebih parah lagi. Allah berfirman:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (179))
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 179)

Dalam surah An Nazi’at ayat 40-41, Allah swt. menegaskan bahwa hanya dengan takut kepada Allah secara jujur seseorang bisa mengendalikan nafsunya. Simaklah Allah berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى(40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى(41
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)”. (QS. An Nazi’at: 40-41)

Saat ini karena kubangan paham Sekulerisme (fasluddin ‘anil hayat), hedonisme masyarakat terjebak dalam penjara nafsu, maka diantara aktifitas penting untuk memerangi nafsu adalah menyadarkan umat tentang busuknya sekulerisme agar mereka meninggalkannya.
Ketiga, (As saithoroh ‘alasy syaithon) Tundukkan Syetan. Kita telah membuktikn selama Ramadhan bahwa syetan dijadikan tidak berdaya. Lihatlah masjid-masjid penuh selama Ramadhan. Malam harinya – terutama pada sepuluh malam terakhir – sepanjang malam masjid hidup dengan orang-orang ber’tikaf dan shalat malam. Di rumah-rumah, kantor-kantor dan di pusat-pusat ibadah, terdengar suara mendengung orang-orang sedang membaca Al Qur’an. Itu semua adalah bukti nyata bahwa syetan sebenarnya sangat lemah. Maka tidak pantas orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan hari Kiamat ia masih ikut syetan dan sibuk dengan acara-acara syetan, serta masih masih menggunakan system-sistem syetan.
Masyarakat yang ikut syetan tidak akan pernah kuat. Ia akan terus dipermainkan dan dijadikan bola pingpong oleh syetan, karena tidak ada syetan yang baik. Ia terus akan dibuat dalam kondisi tidak pernah stabil, karena syetan tidak suka masyarakat yang stabil. Ingatlah Firman Allah :
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ (6)
Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala”.(QS.Faatir: 6)

Masihkah kita akan ikut syetan? Masihkah kita akan terpesona dengan gaya hidup syetan? Masihkah kita akan mecintai para pengikut syetan? Dan Menggunakan Sistem Syetan Kapitalisme Sekuler dan sistem demokrasinya?

Keempat, (Ath Tho’ah al muthlaqah lillahi Ta’ala) Bersungguh-sungguh ikut apa kata Allah. Selama Ramadhan kita telah berhasil patuh sepenuh hati kepada Allah swt. Bila Allah perintahkan puasa, kita langsung puasa. Padahal itu perbuatan yang sangat berat. Sebab yang kita tahan adalah hal-hal yang sebenarnya halal dan boleh dikerjakan. Itu menunjukkan bahwa tidak ada alasan lagi setelah Ramadhan untuk tidak ikut apa kata Allah. Sebab Dialah Allah Yang Maha Mengetahui. Semua yang datang dariNya pasti benar. Orang-orang yang tidak mengikutiNya pasti celaka. Karena Dialah yang memiliki langit dan bumi. Dialah pula Raja di Hari Pembalasan (maaliki yawmiddin).
Silahkan cari alasan untuk tidak ikut Allah, anda pasti akan menemukan jalan buntu. Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا (36)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Dalam sejarah banyak contoh kaum terdahulu yang sombong, tidak mau ikut Allah, karenanya mereka menolak ajakan para rasul. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang dengan terang-terangan membunuh nabi-nabi Allah. Semua itu Allah hancurkan. Allah tidak pernah gentar dengan kekuatan apapun dari makhlukNya. Pun Allah tidak pernah takut akibat apapun yang akan terjadi ketika menimpakan adzab kepada mereka. Perhatikan apa yang telah Allah timpakan kaum Aad, Tsamuud, Fir’aun, Nuh dan sebagianya. Allah berfirman dalam surah Al Haaqah ayat 4-12 yang artinya :
”Kaum Tsamud dan ‘Aad telah mendustakan hari kiamat. Adapun kaum Tsamud maka mereka telah dibinasakan dengan kejadian yang luar biasa, Adapun kaum ‘Aad maka mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon korma yang telah kosong (lapuk). Maka kamu tidak melihat seorangpun yang tinggal di antara mereka. Dan telah datang Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya dan (penduduk) negeri-negeri yang dijungkir balikkan karena kesalahan yang besar. Maka (masing-masing) mereka mendurhakai rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras. Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang), kamu ke dalam bahtera, agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”

Dalam surah Al Fajr: 6-13, lagi-lagi Allah menceritakan kaum-kaum yang pernah Allah adzab tersebut, suatu indikasi bahwa tidak ada jalan bagi satu masyarakat menuju sukses kecuali bersungguh-sungguh ikut apa kata Allah. Bahwa tidak mungkin selamat satu masyarakat yang jauh dari Allah swt.

Kelima, (Al hijratu minadz dzunub) Tinggalkan dosa-dosa dan kemaksiatan. Ramadhan adalah bulan perjuangan menjauhi dosa-dosa. Dan kita telah berhasil membuktikan selama Ramadhan untuk meninggalkan segala bentuk dosa dan kemaksiatan. Bahkan kita berusaha menjauhi sekecil apapun perbuatan yang sia-sia. Sia-sia artinya tidak mengandung nilai pahala sama sekali. Kita berusaha secara maksimal untuk menjadikan setiap detik yang kita lewati memberikan makna dan menjadi ibadah kepada Allah swt. Setiap saat lidah kita basah dengan dzikir, jauh dari pembicaraan dusta dan kebohongan. Pandangan kita selalu tertuju kepada ayat-ayat Al Qur’an dan terjaga dari segala yang diharamkan. Langkah kaki kita senantiasa terhantar menuju masjid. Tangan kita banyak memberikan sedekah dan seterusnya.

Masyarakat yang jauh dari dosa-dosa dan kemaksiatan adalah masyarakat yang berkah. Sebaliknya masyarakat yang penuh dengan dosa-dosa dan kemaksiatan adalah masrakat yang rentan. Ibarat tubuh penuh dengan penyakit dan kotoran yang menjijikkan. Maka ia tidak produktif dan bahkan tidak bisa diharapkan darinya kebaikan. Imam Ibn Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya yang sangat terkenal “al jawaabul kaafii liman sa’ala ‘anid dawaaisy syaafii” menyebutkan beberapa bahaya dosa di antaranya sebagai berikut:
1. Dosa memperlemah kesadaran akan keagungan Allah dalam hati. Artinya seorang yang penuh dengan dosa-dosa tidak akan bersungguh-sungguh lagi mengagungkan Allah. Kaki terasa berat untuk melangkah ke masjid. Badan terasa sulit untuk bangun pada waktu fajar menegakkan shalat subuh. Telinga tidak suka lagi mendengarkan ayat-ayat Al Qur’an, lama kelamaan hati menjadi keras seperti batu bahkan bisa lebih keras dari batu. Maka ia tidak sensitive atau tidak tergetar lagi dengan keagungan Allah. Allah berfirman:

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (74)
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”(QS.Al Baqarah:74).

2. Dosa menghilangkan ruh cemburu. Maka ia tidak akan sensitive bila melihat orang-orang berbuat dosa. Ia tidak tersinggung lagi dengan istrinya yang auratnya dilihat semua orang. Bahkan ia sengaja mengizinkan untuk mempertontonkan auratnya di depan banyak orang. Ia tidak merasa tersinggung dengan anaknya yang berbuat dosa di depan matanya. Akibat lebih lanjut dosa-dosa menjadi marajalela. Maka menyebarlah kerusakan di muka bumi. Bila kerusakan menyebar, maka turunlah adzab dari Allah swt. Allah berfirman:
الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ (11) فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ (12) فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ (13)
“yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.” (QS.Al Fajr : 11-13)

3. Dosa membuat seseorang tidak mempunyai rasa malu. Artinya bahwa seseorang yang biasa berbuat dosa, lama-kelamaan tidak merasa berdosa.

4. Dosa membuat seseorang semakin jauh dari kebaikan (ihsan). Artinya tidak mungkin para pendosa itu berbuat ihsan. Dengan kata lain: kepada Allah saja mereka berani, apalagi kepada manusia.

5. Dosa menghilangkan nikmat dan menggantikannya dengan bencana. Allah swt. selalu menceritakan bahwa diazdzabnya umat-umat terdahulu adalah karena mereka berbuat dosa. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ وَأَرْسَلْنَا السَّمَاءَ عَلَيْهِمْ مِدْرَارًا وَجَعَلْنَا الْأَنْهَارَ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آَخَرِينَ (6)
"Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain."(QS.Al An’am: 6)

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ، ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم ،، أقول قولي هذا فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم
Khutbah II
لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد ، الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا،من يهد الله فلا مضل له ، ومن يضلل فلا هادي له، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله،. اللهم صل على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. وبعد، فيا أيها المسلمون، أصيكم وإياي بتقوى الله وطاعته في كل وقت لعلكم تفلحون. قال تعالى يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Selanjutnya, marilah kita tundukkan kepala kita dengan segala kerendahan hati, sambil menengadahkan tangan kita, untuk memanjatkan doa ke hadirat Allah SWT, Dzat Yang Mahakuasa, dan Mahaperkasa:

اَللّهُمَّ صَلِّى وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ دَعَا إِلَى اللهِ بِدَعْوَةِ اْلإِسْلاَمِ وَمَنْ تَمَسَّكَ بِسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحسْاَنٍ اِلى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَللّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانَا صِغَارًا، أَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَ الْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ بِاْلإيْماَنِ كاَمِلِيْنَ وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلدَّعْوَةِ حَامِلِيْنَ وَبِاْلإِسْلاَمِ مُتَمَسِّكِيْنَ وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ وَفِي الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ وَفِي اْلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ وَلِلنِّعَمِ شاَكِرِيْنَ وَعَلَى اْلبَلاَءِ صاَبِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ بِلاَدَنَا هَذَا وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ سَخَاءً رَخاَءً، اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَناَ سُوْأً فَاَشْغِلْهُ فِي نَفْسِهِ وَمَنْ كَادَنَا فَكِدْهُ وَاجْعَلْ تَدْمِيْرَهُ فِي تَدْبِيْرِهِ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْناَ فِيْ ضِمَانِكَ وَأَمَانِكَ وَبِرِّكَ وَاِحْسَانِكَ وَاحْرُسْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لاَ تَناَمُ وَاحْفَظْناَ بِرُكْنِكَ الَّذِيْ لاَ يُرَامُ.
اَللَّهُمَّ اجْعَلِ الْقُرْآنَ الْكَرِيْمَ رَبِيْعَ قُلُوْبِنَا وَنُوْرَ اَبْصَارِنَا وَذِهَابَ أَحْزَانِنَا وَجَلأََ هُمُوْمِنَا، اَللَّهُمَّ عَلِّمْنَا مِنْهُ مَا جَهِلْنَا وَذَكِّرْنَا مِنْهُ مَا نَسِيْنَا وَارْزُقْنَا تِلاَوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَ أَطْرَافَ النَّهَارِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِيْنَ يَحِلُّوْنَ حَلاَلَهُ وَيُحَرِّمُوْنَ حَرَامَهُ وَيَتْلُوْنَ حَقَّ تِلاَوَتِهِ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا لَنَا فِي حَيَاتِنَا وَمُؤْنِسًا لَنَا فِي قُبُوْرِنَا وَحُجَجًا لَنَا مِنَ النَّارِ وَقَائِدًا لَنَا اِلَى الْجَنَّةِ
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَ التُّقَى وَ الْعَفَافَ وَالْغِنَى نَاتِجَةً مِنْ صِيَامِنَا وَ اجْعَلْهُ شَافِعًا لَنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِإِذْنِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ دَوْلَةَ الْخِلاَفَةِ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ تُعِزُّ بِهَا اْلإِسْلاَمَ وَاَهْلَهُ وَتُذِلُّ بِهَا الْكُفْرَ وَاَهْلَهُ، وَ اجْعَلْناَ مِنَ الْعَامِلِيْنَ الْمُخْلِصِيْنَ لإِقَامَتِهَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ الْخَاسِرِيْنَ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا دُعَائَنَا وَصِيَامَنَا وَقِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا، اَللَّهُمَّ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلاَ تُحَمِّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمْنَا اَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَاِفِرِيْنَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، وَسُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، كُلُ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ
اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ اللهُ أَكْبَرْ وَللهِ الْحَمْدُ، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته