Sabtu, 10 Oktober 2009

Lailatul Qadar

Menggapai Lailatul Qadar

Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah di bulan Ramadlan dimana Allah swt menurunkan telah menurunkan Alquran di malam tersebut. Menurut Ibnu Abbas Allah swt menurunkan Al Quran sekaligus dari lauh mahfudz ke baitul ‘izzah di langit dunia. Setelah itu ia diturunkan secara berangsur-angsur sesuai realitas yang ada selama 23 tahun kepada Rasulullah saw.[1]

Keistimewaan Lailatul Qadar

Lailatul qadar juga memiliki keistimewaan dibandingkan malam-malam lainnya. Keistimewaan tersebut antara lain amalan di malam tersebut pahalanya lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83,3 tahun di luar malam tersebut. Allah swt berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ (۱) وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ (۲) لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (۳) تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ (۴) سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (۵)

Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada malam lailatul Qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadar 1-5)

Menurut at-Thabary para ulama memiliki pendapat beragam tentang “malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan.” Ada yang mentakwilkan beramal dengan amalan yang diridhai Allah pada malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan selainnya. Mujahid mengatakan maksudnya adalah beramal, berpuasa dan shalat malam padanya lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang mengatakan bahwa lailatul qadar lebih baik dari bulan selain bulan Ramadlan.[2]

Selain itu orang yang shalat malam pada malam tersebut dengan maksud untuk mendapatkan pahala dari Allah swt akan dihapuskan dosanya yang lalu dan yang akan datang.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang (HR. Ahmad)

Oleh karena itu Rasulullah saw dan para sahabat senantiasa berupaya untuk memperbanyak ibadah di sepuluh malam terakhir. Hal ini karena besarnya keistimewaan lailatul qadar secara khusus disamping keutamaan yang ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan.

عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ.

Dari Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw jika masuk sepuluh malam terakhir Ramadlan beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan sarungnya.” (H.R. Muslim)

Menurut An-Nawawy frase ‘mengencangkan sarung’ adalah bersungguh-sungguh dalam beribadah lebih dari malam-malam biasanya. Ada juga yang mengartikannya dengan menjauhi keluarganya untuk menyibukkan diri beribadah; menghidupkan malam maksudnya menghabiskannya hingga sahur dengan shalat dan ibadah lain; membangunkan keluarga artinya membangunkan mereka untuk melaksanakan shalat dan ibadah lain di malam hari; serius dalam beribadah artinya menambah dari yang biasanya. Hadits ini menurut beliau menunjukkan anjuran untuk menambah ibadah di malam terakhir Ramadlan.[3]

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Namun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

عَنِ بْنِ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ قَالَ تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari Ibnu Buraidah ia berkata: Aisyah r.a. berkata: “Ya Nabi Allah bagaimana pendapatmu jika saya menjumpai malam lailatul qadar maka apa yang saya ucapkan. Beliau menjawab: Ucapkanlah: “Ya Allah sesungguhnya engkau maha pengampun dan mencintai orang-orang yang memohon ampun maka ampunilah saya”. (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth sanadnya shahih)

Sifat-sifat Lailatul Qadar

Sejumlah riwayat telah memberikan tanda-tanda datangnya lailatul qadar baik pada saat terjadinya maupun setelahnya.

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:لَيْلَةُ القَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ الشَّمْسُ صَبِيحَتَهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ

Dari Ibnu Abbas r.a. ia berkata: Rasululullah saw bersabda: “Lailatul qadar adalah malam yang tenang, tidak panas dan tidak dingin. Pagi harinya matahari teduh dan berwarna merah.” (HR. Abu Daud at-Thayalisy. Menurut al-Haitsamy para perawi haditsnya tsiqah)

عَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ سَمِعْتُ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ يَقُولُ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ هِيَ الَّتِي أَخْبَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّمْسَ تَطْلُعُ بَيْضَاءَ تَرَقْرَقُ

Dari Zar bin Habisy ia berkata: saya mendengar Ubay bin Ka’ab r.a. berkata: “Malam lailatul qadar adalah pada malam ke-27 yaitu malam yang menurut berita dari Rasullah kepada kami mataharinya terbit dengan cahaya yang putih bersinar.” (HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth hadits ini shahih)

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: “لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ، كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ، لاَ بَرْدَ فِيهَا وَلاَ حَرَّ، وَلاَ يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ، وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat pada malam tersebut untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil yaitu malam ke-21, ke-23, ke 25, ke-27, dan ke-29. Rasulullah saw bersabda: “Malam lailatul qadar tanda-tandanya bersih dan tenang, seakan ada bulan yang bersinar, tenang dan lembut, tidak panas dan tidak dingin. Pada malam itu bintang tidak diperkenankan untuk dilemparkan hingga subuh. Pada pagi harinya matahari terbit dengan (cahaya) rata dan tidak terik. Sinarnya seperti bulan di malam purnama. Pada saat itu setan tidak dibebaskan untuk keluar. )HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah)

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنِّي كُنْتُ أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، ثُمَّ نُسِّيتُهَا ، وَهِيَ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ لَيْلَتِهَا ، وَهِيَ لَيْلَةٌ طَلْقَةٌ بَلْجَةٌ ، لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ (وَزَادَ الزِّيَادِيُّ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا يَفْضَحُ كَوَاكِبَهَا (وَقَالاَ لاَ يَخْرُجُ شَيْطَانُهَا حَتَّى يُضِيئَ فَجْرُهَا.

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin (Azzayad memberi tambahan) ia seperti bulan yang menyingkap bintang-bintangnya. (keduanya berkata) pada malam itu setan tidak keluar hingga terbit fajar.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya)

Hadits-hadits diatas merupakan hadits yang layak untuk dijadikan sebagai sifat-sifat lailatul qadar. Memang terdapat sejumlah riwayat yang menjelaskan sifat laitul qadar namun hadits-hadits tersebut lemah sehingga tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Hadits tersebut antara lain: “Malam itu setan tidak dilepasakan dan tidak terjadi penyakit di dalamnya“(HR. Ibnu Abi Hatim); “pepohonan di malam itu jatuh ke bumi kemudian kembali lagi ke posisinya dan segala sesuatu pada malam itu sujud“(HR. at-Thabarany) dan; “Sesungguhnya air asin pada malam itu menjadi tawar” (HR. al-Baihaqy). Kesemua hadits tersebut tidak sahih apalagi bertentangan dengan fakta yang ada.

Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa malam lailatul qadar adalah malam yang tidak panas dan juga tidak dingin seperti malam sebelum dan setelahnya, malam itu terasa tenang dan cerah seakan malam itu terbit bulan purnama, tidak ada angin yang bertiup, badai, hujan debu dan kabut. Demikian pula malam itu tidak terlihat meteor jatuh. Malam itu juga jiwa terasa tenang yang merupaka rahmat dari Allah kepada hambanya di malam yang mulai dan penuh berkah tersebut.

Pada pagi harinya matahari bersinar dengan cahaya yang merah dan lemah seperti ketika hendak terbenam sehingga mudah dilihat karena tidak menyakiti mata. Meski realitas sinar matahari tetap sebagaimana biasanya namun keadaan tersebut bisa diakibatkan oleh cuaca yang sejuk, atau karena tersebarnya awan tipis, kabit tipis sehingga menutupi sebagian sinarnya.[4]

Waktu Lailatul Qadar

Di dalam kitab Fathul Bary, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa para ulama telah berbeda pendapat kapan terjadinya lailatul qadar dengan lebih dari 40 pendapat. Beliau kemudian menyebutkan masing-masing pendapat tersebut yang berjumlah 46 pendapat. Pendapat tersebut antara lain: lailatul qadar dapat terjadi pada setiap malam, hanya pada seluruh malam di bulan Ramadlan, malam ke-17 Ramadlan, pertengahan 10 malam kedua, malam ke-19, malam ke-21, malam ke-23, malam ke-27, dan malam-malam ganjil di sepuluh terakhir.

Setelah mengemukakan seluruh pendapat tersebut Ibnu Hajar berkata: dan yang saya tarjih dari berbagai pendapat tersebut adalah lailatul qadar berada pada malam ganjil di sepuluh malam terakhir yang berpindah dari satu malam ke malam yang lain sebagaimana yang difahami dari sejumlah hadits pada bab ini. Bisa jadi pada malam 21 sebagaimana yang dikemukakan oleh kalangan Syafi’iyyah atau malam 27 sebagaimana yang dipegang oleh Jumhur berdasarkan hadits-hadits yang mereka jadikan pegangan.

Dengan demikian penetapan malam lailatul qadar membutuhkan adanya tarjih dari sejumlah pendapat tersebut dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang maqbul.

Dalam masalah ini terdapat sejumlah hadits yang disepakati oleh Buhari-Muslim dan ada pula yang diriwayatkan sendiri-sendiri oleh mereka serta hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka berdua. Prinsip yang dijadikan pengangan dalam mentarjih hadits-hadits tersebut adalah beristidlal dengan hadits yang disepakati oleh Bukhari Muslim lebih diutamakan dari yang lain. Demikian pula jika terjadi pertentangan atau perbedaan antara hadits shahih dengan hadits hasan maka yang diambil adalah hadits shahih jika keduanya tidak dapat disatukan.

Selain itu jika terdapat hadits Nabi tentang satu masalah kemudian terdapat pendapat sahabat yang bertentangan dengan hadits tersebut maka pendapat sahabat tersebut diabaikan.

Dari sejumlah nash yang ada terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim yang mengatakan:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: Rasulullah saw bersabda: saya pernah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa. Ia berada malam sepuluh terakhir. (HR. Bukhari-Muslim)

Dari hadits di atas Rasulullah saw menjelasakan bahwa beliau pernah mengetahui malam lailatul qadar kemudian dibuat lupa mengenai waktu terjadinya. Dengan demikian jika Rasulullah saw saja lupa kapan pastinya lailatul qadar maka selain beliau tentu tidak dapat memberikan penetapan kapan waktu terjadinya. Namun demikian beliau memberikan batasan bahwa ia terjadi pada sepuluh malam terakhir Ramadlan.

Tidak ada hadits yang kualitasnya sama yang bertentangan dengan hadits ini. Adapun hadits-hadits yang bertentangan dengan hadits tersebut kualitasnya lebih rendah. Demikian pula hadits-hadits tersebut tidak dijelaskan apakah dikeluarkan lebih dahulu atau setelah hadits tersebut. Dengan demikian nasakh tidak dapat ditetapkan pada masalah ini.

Memang sejumlah sahabat dan fuqaqah telah menetapkan kapan waktunya lailatul qadar berdasarkan tanda-tanda yang telah dinyatakan dalam sejumlah hadits. Namun demikian penetapan tersebut bersifat dzanny dan tidak sampai pada derajat qath’iy. Sebagai contoh Ubay bin Ka’ab yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27.

عَنْ زِرَّ بْنَ حُبَيْشٍ يَقُولُ سَأَلْتُ أُبَىَّ بْنَ كَعْبٍ - رضى الله عنه - فَقُلْتُ إِنَّ أَخَاكَ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ مَنْ يَقُمِ الْحَوْلَ يُصِبْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ. فَقَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ أَرَادَ أَنْ لاَ يَتَّكِلَ النَّاسُ أَمَا إِنَّهُ قَدْ عَلِمَ أَنَّهَا فِى رَمَضَانَ وَأَنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ وَأَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. ثُمَّ حَلَفَ لاَ يَسْتَثْنِى أَنَّهَا لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ فَقُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ تَقُولُ ذَلِكَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ قَالَ بِالْعَلاَمَةِ أَوْ بِالآيَةِ الَّتِى أَخْبَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا تَطْلُعُ يَوْمَئِذٍ لاَ شُعَاعَ لَهَا.

Dari Zirra bin Hubaisy ia berkata: saya bertanya kepada Ubay bin Ka’ab r.a. dan mengatakan: Sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud berkata: barangsiapa yang mendirikan shalat malam setahun maka ia akan mendapati Lailatul Qadar. Maka beliau berkata: semoga Allah merahmatinya, Allah tidak bermaksud membebani manusia. Bukankah ia telah mengetahui bahwa lailatul qadar pada bulan Ramadlan dan berada pada sepuluh terakhir darinya yakni pada malam ke-27. kemudian beliau bersumpah bahwa tidak terjadi kecuali pada malam ke-27, maka saya berkata: apa dasarmu wahai Abu Mundzir? Ia menjawab: tanda-tanda yang telah diinformasikan Rasul kepada saw mengenai lailatul qadar ada pada saat itu dan ia tidak tersebar (HR. Muslim)

Dari hadits diatas jelas bahwa penetapan malam ke-27 tersebut bukan merupakan statemen Rasul saw namun merupakan kesimpulan Ubay dari tanda-tanda yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Adapan sumpah beliau tidak lantaran menjadikan waktu tersebut qath’iy pada malam ke-27 karena ia merupakan hasil ijtihad yang sifatnya dzanny. Andaikan pendapat beliau adalah hal yang qathiy niscaya sahabat yang lain tidak ada yang menyelisihinya.

Para sahabat juga berbeda dalam menetapkan lailatul qadar berdasarkan pemahaman mereka terhadap keterangan yang telah dinyatakan oleh Rasulullah saw. Said al-Khudri misalnya menyatakan bahwa lalilatul qadar jatuh pada malam ke-21 sementara Abdullah bin Unais yang berkesimpulan bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-23.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُنَيْسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَأَرَانِى صَبِيحَتَهَا أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ. قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ انْصَرَفَ وَإِنَّ أَثَرَ الْمَاءِ وَالطِّينِ لَعَلَى أَنْفِهِ وَجَبْهَتِهِ قَالَ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ يَقُولُ : ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

Dari Abdullah bin Unais bahwa Rasulullah saw bersabda: “Saya melihat malam lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa dan saya bermimpi pada subuh harinya sujud di atas tanah dan air. lalu Abdullah berkata: telah terjadi hujan pada malam ke-23 dan Rasulullah saw shalat bersama kami dan setelah itu beliau berpaling dan nampak bekas air dan tanah pada jidad dan hidungnya. Abdullah bin Unais berkata: malam itu ke-23. (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعَشْرَ الأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرَينَ، فَخَطَبَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا أَوْ نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ، فَمَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَلْيَرْجِعْ فَرَجَعْنَا وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءٍ قَزَعَةَ؛ فَجَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ، وَأَقِيمَتِ الصَّلاَةُ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَسْجُدُ فِي الْمَاءِ وَالطِّينِ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِي جَبْهَتِهِ

Dari Abu Said ia berkata: Kami i’tikaf bersama Rasulullah saw pada sepuluh malam kedua, lalu beliau keluar pada subuh hari ke-20 dan berkhutbah: “Sesungguhnya saya telah melihat lailatul qadar kemudian saya dibuat lupa, maka carilah pada sepulu malam terakhir di malam ganjil. Saya bermimpi saya sujud di atas tanah dan air. Barangsiapa yang beri’itikaf bersama Rasulullah saw maka kembalilah, maka kami pun kembali. Kami tidak tidak melihat di langit ada awan tipis namun setelah itu datang awan mendung dan turun hujan hingga merembes ke atap mesjid yang terbuat dari pelepah kurma. Shalat kemudian dilaksanakan dan saya melihat beliau sujud di atas tanah dan air sehingga nampak bekas tanah pada jidadnnya. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Bukhari lainnya Ibnu Said berkata: مِنْ صُبْحِ إِحْدى وَعِشْرِيْنَ (Peristiwa itu) pada subuh hari malam ke-21).

Namun demikian terdapat banyak riwayat lain yang bersifat mutlaq yang tidak membatasi kapan Rasulullah sujud di atas tanah dan air. Sementara pada hadits di atas terdapat batasan (taqyid) yang berbeda yaitu malam ke-21 dan malam ke-23. Meski demikian hadits di atas dapat dikompromikan. Sehingga prinsip mengamalkan seluruh dari dalil lebih dari mengabaikan sebagian dapat diterapkan. Rasulullah dalam banyak riwayat tidak membatasi kapan beliau bermimpi sujud di atas air dan tanah. Namun ketika subuh hari malam ke-21 dan malam ke-23 terjadi hujan sehingga Abu Said menganggap malam ke-21 adalah lailatul qadar sementara Abdullah bin Unais berpandangan bahwa malam ke-23 adalah lailatul qadar.

Hal lain yang perlu ditegaskan adalah pernyataan Rasulullah saw bermimpi sujud di atas air dan tanah adalah pernyataan terpisah dari pernyataan beliau tentang lailatul qadar. Sehingga sujud di atas tanah dan air tidak dapat dijadikan sebagai tanda lailatul qadar.

Apalagi terdapat sejumlah riwayat yang jelas yang menyatakan bahwa rentang waktu terjadinya lailatul qadar adalah malam ganjil sepuluh malam terakhir dimana Rasulullah saw mendorong manusia untuk mencarinya di waktu-waktu tersebut. Rasulullah saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّهَا كَانَتْ أُبِينَتْ لِى لَيْلَةُ الْقَدْرِ وَإِنِّى خَرَجْتُ لأُخْبِرَكُمْ بِهَا فَجَاءَ رَجُلاَنِ يَحْتَقَّانِ مَعَهُمَا الشَّيْطَانُ فَنُسِّيتُهَا فَالْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ الْتَمِسُوهَا فِى التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

“Wahai sekalian manusia dulu telah jelas padaku lailatul qadar. Kemudian ketika saya bermaksud keluar menginformasikannya kepada kalian, maka datang dua orang yang bersama setan lalu saya dilupakan tentang malam tersebut. maka carilah pada malam ke-21, ke-23 dan ke-25.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain dinyatakan:

عَنْ عٌيَيْنَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : ذَكَرْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ أَبِيْ بَكْرَةَ فَقَالَ مَا أَنَا بِمُلْتَمِسُهَا بَعْدَ مَا سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِلَّا فِي عَشْرِ الْأَوَاخِرِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ مِنْهُ قَالَ فَكَانَ أَبُوْ بَكْرَةَ يُصَلِّي فِي الْعَِشْرِين مِنْ رَمَضَانَ كَصَلَاتِهِ فِيْ سَائِرِ السُّنَّةِ فَإِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ اجْتَهَدَ

Dari Uyainah bin Abdurrahman dari Bapaknya: “Saya membicarakan lailatul qadar di sisi Abu Bakrah kemudian beliau berkata: “Saya tidak mencarinya kecuali pada sepuluh malam terakhir setelah saya mendengarnya dari Rasulullah saw. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:”Carilah pada sepuluh malam terakhir yaitu pada malam-malam ganjil darinya. Lalu Bapak Abdurrahman berkata: “Abu Bakrah shalat pada 20 malam pertama di bulan Ramadlan sama sebagaimana shalatnya di hari-hari lain sepanjang tahun. Naamun ketika memasuki sepuluh malam terakhir iapun pun bersungguh-sungguh.” (H.R. Ahmad dan menurut al-Arnauth sanadnya hasan)

Kedua hadits diatas menujukkan bahwa Rasulullah saw menyerukan kaum muslim untuk bersungguh-sungguh pada malam-malam ganjil di sepuluh malam terakhir.

Rasulullah bahkan mengatakan bahwa bahwa lupanya beliau terhadap lailatul qadar merupakan kehendak Allah dan hal tersebut merupakan hal yang baik bagi kaum muslim. Dengan demikian kaum muslim dapat memperbanyak amalan di malam-malam yang kemungkinan terjadinya lailatul qadar dan tidak hanya fokus beribadah di satu malam saja yang dianggap lailatul qadar.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يُخْبِرَنَا بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجْتُ وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ فَرُفِعَتْ وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ أَوْ السَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ

Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: Rasulullah saw keluar bersama kami dan beliau bermaksud menginformasikan kepada kami lailatul qadar. Lalu datang dua orang berselisih maka beliau bersabda: “Saya keluar dan bermaksud menginformasikan lailatul qadar lalu datang dua orang berselisih maka (waktu lailatul qadar tersebut) diangkat dari saya. Semoga itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah ia pada malam ke-21, ke-23 atau ke-25. (H.R. Bukhari)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رِجَالاً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْمَنَامِ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِى السَّبْعِ الأَوَاخِرِ.

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa orang-orang dari Sahabat Nabi saw bermimpi melihat lailatul qadar pada pada tuju malam terakhir maka Rasulullah saw bersabda. Saya pun melihat mimpi kalian dan sama yaitu pada tujuh terakhir. Barangsiapa yang berupaya mendapatkannya maka carilah pada tujuh malam terakhir.” (HR. Bukhari)

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَأَى رَجُلٌ أَنَّ لَيْلَةَ الْقَدْرِ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ. فَقَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَى رُؤْيَاكُمْ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَاطْلُبُوهَا فِى الْوِتْرِ مِنْهَا.

Dari Salim dari Bapaknya r.a. berkata: Seorang laki-laki berkata bahwa lailatul qadar pada pada malam ke-27. Maka Nabi saw bersabda: “Saya melihat mimpi kalian bahwa ia berada pada sepuluh malam terakhir maka carilah pada hari-hari ganjilnya.” (HR. Muslim)

ابْنَ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ - يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ - فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى ».

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata. Rasulullah saw bersabda: “Carilah lailatul qadar pada sebelum malam terakhir. Jika diatara kalian ada yang merasa lemah maka janganlah mengabaikan tujuh malam terakhir.” (H.R. Muslim)

Riwayat tersebut menyebutkan perintah untuk mencarinya di malam ganjil di sepuluh malam terakhir dan tujuh malam terakhir. Dimana antara tujuh malam terakhir dan sepuluh malam terakhir tidak ditetapkan. Ini menunjukkan bahwa Lailatul Qadar ada pada malam-malam tersebut. Hal ini diperkuat oleh hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw meningkatkan keseriusannya beribadah pada malam sepuluh terakhir yang berlangsung hingga beliau wafat.[5]

Penutup

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Rasulullah saw pernah mengetahui kapan terjadinya lailatul qadar kemudian Allah swt membuat beliau lupa hingga ia diwafatkan. Dengan demikian siapapun selain beliau termasuk sahabat tidak dapat menentukan kapan pastinya lailatul qadar. Meski demikian beliau telah memberikan rentang waktu terjadinya malam lailatul qadar yakni di sepuluh terakhir bulan Ramadlan pada malam-malam ganjil. Dengan kata lain lailatul qadar dapat terjadi pada malam ke-21, ke-23, ke-25, ke-27 dan ke-29.

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الْبَوَاقِى، مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، وَهِىَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ، أَوْ سَبْعٍ، أَوْ خَامِسَةٍ، أَوْ ثَالِثَةٍ، أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ.

Dari Ubadah bin Shamit bahwa Rasulullah saw berkata: “Malam lailatul qadar berada pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa yang shalat dimalamnya untuk mendapatkan pahalanya, maka Allah tabaraka wata’ala akan menghapus dosanya yang telah lalu dan yang akan datang dan malam tersebut ada pada malam ganjil 21, 23, 25, 27, dan 29.” (HR. Ahmad menurut al Haitsamy para perawi hadits ini tsiqah). Wallahu a’lam bisshawab. (muis)


[1] Ibnu Katsir, Tafsir al Quran al-Adzhim, VIII/441, al-Maktabah as-Syamilah.

[2] Ibnu Jarir, Tafsir at-Thabaty, XXVI/533, al-Maktabah as-Syamilah.

[3] An-Nawawy, Syarh an-Nawawy ‘ala Muslim-, VIII/80, al-Maktabah as-Syamilah

[4] Mahmud Latif Uwaidhah, al-Jami’ li ahkami as-Shiyam, hlm. 258

[5] Penjelasan lebih detail mengenai masalah ini lihat Mahmud Latif Uwaidhah, al-jami’ li ahkam as-Shiyam, hlm.260

Tidak ada komentar: