Selasa, 13 April 2010

Makna Jidal Billati Hiya Ahsan

. Makna Jidal Billati Hiya Ahsan.
A .Debat Syar’i
Debat (al-jidal) identik dengan dialog/diskusi (at-tahâwur). Allah SWT. berfirman dalam surat Al Mujadalah ayat 1::
قَدْ  سَمِعَ  اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ  فِي  زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي  إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ  يَسْمَعُ  تَحَاوُرَكُمَا إِن َّ اللَّهَ  سَمِيعٌ  بَصِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Allah mendengar soal jawab antara kalian berdua.”[1].
Dalam ayat ini Allah menyebut debat dengan istilah tahâwur, artinya berdiskusi/berdialog. Debat pada dasarnya adalah menyampaikan hujah atau yang diduga sebagai hujah oleh dua pihak yang berbeda pendapat.  Tujuannya adalah untuk membela pendapatnya, membatalkan hujah lawannya, serta mengalihkannya pada pendapat yang tepat dan benar menurut pandangannya.
Sebagian mufasir memaknai jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya Ibnu Abbas, beliau  menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh.[2] Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya. [3]
Pada penafsiran yang lebih terinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam  aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek.:
a.       Dari segi cara (uslub)
Sebagian mufasir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, Al-Baghawi, Al-Baidhawi, dan Al-Khazin.[4]
b.       Dari segi topik (fokus) debat
 Sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzil) atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.[5]
c.        Dari segi argumentasi
Para mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya).[6] Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz. [7] 
Seruan dengan jidal billati hiya ahsan tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat. Di antara teladan cara debat yang diajarkan al-Quran menurut Al-Alusi diantaranya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 258, yaitu:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ  اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ  الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ  فَبُهِتَ
الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya:
 “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)? Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan), ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.” Orang itu berkata, “Aku dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah bisa menerbitkan matahari dari Timur, maka terbitkanlah dari Barat.” Lalu diam dan terdiamlah orang kafir itu.”[8].

Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an surata As-Syu‘ara ayat:23-31:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ (23) قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ (24) قَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ أَلَا تَسْتَمِعُونَ 25) قَالَ رَبُّكُمْ وَرَبُّ آَبَائِكُمُ الْأَوَّلِينَ (26) قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ (27) قَالَ رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ (28) قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ (29) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكَ بِشَيْءٍ مُبِينٍ (30
قَالَ فَأْتِ بِهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (31
Artinya:
 “Fir’aun bertanya, “Siapa Tuhan alam semesta itu?” Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada pada keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayainya.” Berkata Fir’aun kepada orang-orang sekelilingnya, “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula), “Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek kamu terdahulu,” Fir’aun berkata, “Sesungguhnya rasulmu yang diutus kepada kalian benar-benar orang gila,” Musa berkata, “Tuhan yang menguasai Timur dan Barat dan apa yang ada diantara keduanya (itulah Tuhanmu) jika kamu mempergunakan akal.” Fir’aun berkata, “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” Musa berkata, “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”.[9]

       Jika kita dalami ayat-ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa debat itu haruslah mengandung dua unsur sekaligus, yaitu:
1)         Mengungkapkan dan menghancurkan kebatilan dihadapan orang yang tetap dengan kebatilannya dan kuat penentangannya,  sekalipun telah jelas kebenaran di antara kebatilan seperti jelasnya matahari di siang bolong. Caranya dengan merobohkan argumen batil, menyerang argumentasi  batil, serta menelanjangi kebatilan tersebut dengan argumentasi benar secara mengakar dan tepat.
2)         Mengungkapkan dan menetapkan kebenaran sebagai benar, dengan cara membangun kebenaran atas dasar argumen yang rasional atau dalil yang tepat dan syar’i.

b. Debat yang Tercela
Namun demikian, ada satu jenis perdebatan yang dicela oleh syariat hingga bahkan dianggap sebagai bentuk kekufuran, seperti mendebat Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah SWT. berfirman dalam surat Al Ghafir ayat 4:
مَا يُجَادِلُ فِي آَيَاتِ اللَّهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلَادِِ
Artinya:
“Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah kecuali orang-orang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota lain memperdayakan kamu.”

c. .Antara Debat/Jidal dan Syagab
Debat yang diperintahkan syariat dapat dilakukan dengan didasarkan pada hujah (dalil) atau yang diduga sebagai dalil (syubhah dalîl). Di luar itu dinamakan syagab (penyimpangan) atau takhlîth (pencampuradukan yang haq dengan yang batil).
Syubhah adalah sesuatu yang diduga oleh pihak tertentu  sebagai suatu kebenaran, padahal bukan. Ini adalah definisi Ibnu Aqil. Sedangkan syagab diartikan oleh Ibnu Hazm dengan tindakan menyimpangkan kebenaran dengan hujah yang batil, dengan menggunakan premis-premis yang rusak yang akan menggiring orang pada kebatilan; disebut juga safsathah. Seperti menurut perkataan  Ibnu Aqil yang dikutif oleh ustad M.Al-Khotot, "Siapa saja yang suka menempuh metodologi ahli ilmu, maka ia hanya dibenarkan berbicara dengan hujah (dalil) atau syubhah dalîl. Sedangkan  syagab merupakan pencampuradukan yang dilakukan oleh ahli debat."[10]
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa syagab adalah berdebat tanpa menggunakan dalil atau syubhah dalîl.

d. Etika Debat
Di antara etika dan aturan berdebat yang telah diwasiatkan oleh para ulama dengan sebagian tambahan, adalah:
·        Mengedepankan ketakwaan kepada Allah; bermaksud ber-taqarrub kepada Allah dan mencari ridha-Nya dengan menjalankan perintah-Nya.
·        Diniatkan untuk menyatakan yang haq dan membatalkan yang batil, bukan karena ingin mengalahkan lawan. Imam Asy-Syafi‘i berkata, "Aku tidak berbicara kepada seorang pun kecuali aku sangat suka jika ia mendapatkan taufik, berkata benar, dan diberi pertolongan. Ia akan mendapatkan perhatian dan pemeliharaan dari Allah. Aku tidak berbicara kepada seorang pun selamanya kecuali aku tidak memperhatikan apakah Allah menjelaskan kebenaran melalui lisanku atau lisannya."
      Ibnu Aqil berkata, "Setiap perdebatan yang tujuannya bukan untuk membela kebenaran adalah kebinasaan bagi pelakunya."[11] 
·        Tidak dimaksudkan untuk mencari kemegahan, kedudukan, meraih dukungan, berselisih, dan ingin dilihat.
·        Diniatkan untuk memberikan loyalitas kepada Allah dan pada agama-Nya serta nasihat kepada lawan debatnya.
·        Diawali dengan memuji Allah SWT. dan bersyukur kepada-Nya serta membaca shalawat kepada Nabi SAW.
·        Memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar diberi taufik atas perkara yang diridhai-Nya.
·        Menggunakan metode yang baik serta dengan pandangan dan kondisi yang baik. Ibnu Abas menuturkan bahwa Rasulullah SAW. pernah bersabda:
 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : " إِنَّ الْهَدْيَ الصَّالِحَ وَالسَّمْتَ
الصَّالِحَ وَالِاقْتِصَادَ جُزْءٌ مِنْ خَمْسٍ وَعِشْرِينَ جُزْءًا مِنْ النُّبُوَّةِ ".رواه احمد وابودود.
Artinya:
 “Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah berkata: Sesungguhnya Petunjuk yang baik, cara yang baik, dan tidak berlebih-lebihan adalah satu dari dua puluh lima bagian kenabian. Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Dawud.[12] 
·         Singkat dan padat dalam berbicara, yaitu berbicara sedikit tetapi sarat makna, serta tepat sesuai dengan sasaran. Terlalu banyak bicara akan mengakibatkan kebosanan; juga berpeluang menimbulkan kesalahan, campur-aduk, dan ketergelinciran.
·         Bersepakat dengan lawan debatnya atas sumber yang akan menjadi rujukan keduanya. Jika lawan debat adalah orang kafir maka rujukannya semata-mata akal. Jika lawan debat adalah Muslim maka rujukannya adalah akal dan naqli. Akal menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat rasional. Naqli menjadi rujukan pada perkara-perkara yang bersifat syar‘i. Allah SWT. berfirman dalam surat An Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ  فِي شَيْءٍ  فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ  تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْويلا
Artinya:
“Jika kalian berselisih tentang suatu perkara, kembalikanlah perselisihan itu kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (As-Sunnah).”[13]
             Orang yang tidak beriman (kafir) tidak boleh didebat dalam perkara cabang syariat, karena ia tidak mengiman pokok syariat. Sebagai contoh: orang kafir tidak boleh didebat dalam masalah poligami lebih dari empat, kesaksian wanita, jizyah, warisan, keharaman khamr, dan yang lainnya. Berdiskusi dengan orang kafir harus dibatasi pada pokok-pokok agama (akidah/keimanan) yang dalilnya bersifat rasional. Sebab, tujuan dari diskusi adalah mengalihkannya dari kebatilan menuju haq, dan dari kesesatan menuju petunjuk. Hal ini tidak bisa diwujudkan kecuali dengan mengalihkannya dari kekufuran menuju keimanan terlebih dulu.       
·         Tidak mengeraskan suara kecuali dengan kadar yang dibutuhkan untuk bisa didengar oleh orang yang ada disekitarnya; juga tidak boleh berteriak di hadapan lawan diskusi. Tidak boleh meremehkan dan menghinakan keberadaan lawan debat; bersabar atas penyimpangan lawan debat; berusaha memaklumi dan memaafkan kesalahannya, kecuali orang itu adalah orang yang pandir, kita harus menjauhkan diri dari berdiskusi dan berdebat dengannya.
·         Menjauhi tindakan bodoh (al-hiddah) dan berbuat sesuatu yang membosankan.
·         Jika berdebat dengan orang yang lebih banyak pengetahuannya maka janganlah mengatakan, "Anda salah," atau, "Pendapat Anda keliru." Akan tetapi, katakanlah, "Bagaimana pandangan Anda jika ada orang yang berpendapat….(sebutkan pendapatnya)?" (dengan menggunakan redaksi orang yang meminta petunjuk), atau katakanlah, "Bukankah yang benar itu begini (sebutkan yang dimaksud)?"
·         Berusaha memikirkan dan memahami perkara yang disampaikan oleh lawan debat agar bisa membantahnya dengan mudah. Tidak boleh cepat-cepat berbicara sebelum lawan selesai berbicara. Ibnu Wahab berkata, "Aku pernah mendengar Imam Malik berkata, 'Tidak ada kebaikan dalam jawaban sebelum dipahami masalahnya terlebih dulu.'"
·         Tidak berpaling kepada orang-orang yang hadir di majelis karena meremehkan lawan debatnya, baik orang-orang itu berbeda pendapat atau bersepakat dengannya. Jika lawan debat melakukan hal itu maka harus dinasihati. Apabila tidak mau menghentikannya maka hentikanlah diskusi ini.
·         Tidak boleh berdebat dengan merasa hebat dan takjub dengan pendapatnya, karena orang yang ujub tidak akan menerima satu pendapat pun dari orang lain.
·         Tidak boleh berdebat di tempat-tempat yang dikhawatirkan, seperti berdiskusi di tempat terbuka dan di tempat-tempat umum, kecuali jika ia merasa tenteram dengan agamanya.
·         Tidak boleh bermaksud ingin mengalahkan lawan diskusi dalam forum. Tidak berbicara panjang lebar, khususnya dalam perkara yang sudah diketahui oleh lawan.
·         Tidak boleh berdiskusi dengan orang yang meremehkan ilmu dan ahlinya atau di hadapan orang-orang yang pandir yang meremehkan diskusi dan orang-orang yang sedang berdiskusi. Imam Malik berkata, "Termasuk menghinakan dan meremehkan ilmu jika seseorang membicarakan ilmu di hadapan orang yang tidak menaati ilmu."
·         Tidak boleh keras kepala dengan tidak menerima kebenaran ketika kebenaran itu tampak pada lawannya. Sebab, kembali pada kebenaran adalah lebih baik daripada terus-menerus dalam kebatilan; juga supaya termasuk ke dalam golongan orang yang mendengarkan perkataan dan mengikuti yang paling benar.
·         Tidak boleh mengacaukan jawaban (mughalathah), yaitu dengan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan,
Itulah beberapa etika yang harus diperhatikan ketika kita sedang melakukan jidal atau berdialog dengan pihak lain.


[1] Sunaryo,dkk, op.cit., Hal.908.
[2] Ibnu Abbas,Tanwir Al Miqbas min Tafsri Ibn Abbas, Mawaqiu At Tafaasir, tp, t-tp,tt, Hal.293/I
[3] Ahmad As- Suyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli,  loc.cit..
[4] Abu Al-Fida Ibn Umar Ibn Katsir, loc.cit.; Al-Khazin,  loc.cit.; Al-Baidhawi, loc.cit.; Abu Muhammad Al Baghawi, loc.cit.
[5] Sayyid Qutb, loc.cit
[6]An- Nawawi Al jawi, op.cit,. Hal. 517.
[7] Imam al-Alusi, loc,cit.
[8] Sunaryo,dkk, op.cit,.Hal.63
[9] Sunaryo,dkk, op.cit,.Hal 574-575.
[10] M. Al-Khothot, Pengantar Redaksi: Etika Debat, Al-Wa’ie no.48, edisi Agustus 2004.
[11] Ibid
[12] Anonim,  Tuhfatul Ahwady, tp, t-tp, tt, Hal.261/V.
[13] Sunaryo,dkk, op.cit,.Hal.128.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

setuju.boleh juga artikelnya>>>>sukron