Selasa, 13 April 2010

Thariqah (Metode) Pengajaran Yang Ditetapkan Al-Qur’an.

Hikmah, Mau’izhah Al Hasanah dan Jidal sebagai Sebagai Thariqah (Metode) Pengajaran Yang Ditetapkan Al-Qur’an.
Metodologi Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad Anwar  yang dikutip oleh DR.Rifyal Ka’bah. MA adalah suatu model yang menyediakan prinsif-prinsif teoritis dan kerangka kerja yang memberi petunjuk bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks sebuah paradigma. Sedangkan paradigma adalah satu set proposisi (rancangan usulan) yang menerangkan bagaimana dunia dipahami.[1] Ia berisikan sebuah pandangan keduniaan, suatu cara untuk memecahkan kerumitan dunia sesungguhnya, yang memberi tahu para peneliti dan ilmuwan sosial pada umumnya tentang apa yang penting, apa yang sah dan apa yang masuk akal. Sistem klasifikasi Barat biasanya menempatkan metodologi dibawah kategori filsafat, psikologi, dan agama. Ia mempunyai hubungan yang dekat dengan epistemology dan logika.[2]
Dalam metodologi Barat , kebenaran diperoleh melalui pengamatan terhadap kenyatan hidup. Melalui penginderaan terhadap objek-objek tertentu, pikiran mengamati, menguraikan, dan mengamalkannya. Itu dilakukan melalui percobaan berkali-kali dalam waktu dan tempat yang berbeda, dan tetap memberikan kesimpulan yang sama sehingga menjadi kesimpulan ilmiah atau hukum. Atau ia dilakukan dengan observasi pemikiran melalui metode perbandingan, simplikasi, deduksi, dan lain-lain sehingga diperoleh sebuah kesimpulan yang dianggap sebagai kebenaran atau hukum . Kedua bentuk kesimpulan ini tetap dipandang sebagai kebenaran bila belum ditemukan kesimpulan lain yang membatalkannya. Inilah yang disebut sebagai relativitas kesimpulan ilmu.
Metodologi dalam Islam merujuk kepada prinsif tauhid. Tauhid sebagai dasar metodologis (minhajiyah ), [3].Oleh karena itu perlu dipahami bahwa setiap pemikiran (fikrah) memiliki metode (thariqah) yang menyangkut pelaksanaanya. Lain lagi dengan tekhnik atau cara (uslub), yang berupa tatacara tertentu untuk melakukan aktifitas, dan tata cara tersebut bersifat tidak tetap. Dalam konteks pendidikan dan pengajaran, yang dimaksud thariqah atau metode adalah ketentuan-ketentuan baku secara ilahi yang merupakan hukum syara’ yang harus dilaksanakan dalam proses pendidikan dan pengajaran, bersifat tetap dalam setiap zaman, berlandaskan Al-Qur’an dan As Sunah, serta untuk menentukannya tidak diperlukan aqal inovatif (aqal mubdi) tetapi cukup dengan menggunakan akal biasa (aqal ‘adi), karena peranan akal dalam hal ini bukan untuk menentukan aktifitas, tetapi memahami dalil-dalil syara’. Definisi di atas perlu kita pahami,agar aktifitas pelaksanaaan thariqah disadari sebagai pelaksaan hukum syara’ yang merupakan ibadah, bukan semata urusan duniawi  yang bebas nilai.
Demikian pula halnya dengan thariqah (metodologi) pengajaran hikmah, mauizhah al hasanah dan jidal adalah merupakan hukum syara’ yang harus dipahami dalam proses pendidikan. Thariqah ini bukan semata-mata tekhnis atau cara, jalan, atau langkah-langkah untuk mencapai tujuan seperti yang sering dipahami secara umum yang kebenaran dan keampuhannya harus dibuktikan melalui pengamatan dalam kenyataan hidup, serta percobaan yang berkali-kali dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Tidak demikian halnya dengan Islam. Ketika thariqah tersebut telah dibuktikan kebenarannya secara syar’i, namun belum berhasil juga mewujudkan tujuan yang hendak diimplementasikan, pada dasarnya yang harus dikaji dan diubah bukanlah thariqah-nya, melainkan uslub dan wasilah-nya, hingga berhasil mewujudkan tujuan yang dikehendakinya.
Hikmah, mau’izhah al hasanah, dan jidal adalah thariqah (metode) yang telah ditetapkan Al-Qur’an dalam aktifitas dakwah dan pengajaran. Jadi ketika sudah dibuktikan kebenaran dan keharusannya menurut hukum syara’, namun metodologi hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal ini belum berhasil, maka bukan berarti metodenya yang salah. Tapi bisa saja disebabkan oleh praktek kita yang tidak sesuai dengan metode tersebut atau tekhnis dan alatnya tidak tepat.
Dalam menunaikan tuntutan hikmah, mau’izhah al-hasanah dan jidal, Rasulullah membagi golongan  yang menjadi objek didiknya menjadi 3 golongan, sebagaimana yang telah dijelaskan. Namun, perlu dipahami tekhnik pendekatan yang dibuat oleh Rasulullah dalam usaha mendekati golongan-golongan tadi bermacam-macam pula. Diantaranya:
Pertama: Dengan cara menjawab pertanyaan, yakni orang bertanya pada Rasulullah SAW kemudian Rasul menjawabnya, contohnya seperti hadits dibawah ini:
 حدثنا محمد بن محمد بن سليمان ،حدثنا عبد الوهاب بن الضحاك حدثنا إسماعيل بن عياش ، عن صفوان بن عمرو ، عن يحيى بن جابر ، عن عبد الرحمن بن جبير بن نفير ، عن أبيه ، عن النواس بن سمعان ، أنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم ، عن البر فقال : « حسن الخلق » ، فقال : ما الإثم ؟ قال : « ما حاك في نفسك وكرهت أن يعلمه الناس » رواه الاصبهاني .
Artinya :
"Telah mengatakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman, telah mengatakan kepada kami Abdul Wahhab bib Dhahak, telah mengatakan kepada kami Ismail bin Iyas, dari Sofyan bin Amr, dari Yahya bin Jabir, dari Abdurahman bin Jabir bin Nafir dari bapaknya, dari  Nawas bin Sam’an : Sesungguhnya telah bertanya kepada Rasullullah tentang kebajikan, Rasulullah bersabda :Kebajikan itu adalah akhlak baik .Terus bertanya tentang dosa, Rasulullah menjawab : dosa adalah yang tidak disenangi di hati dan engkau benci kalau manusia melihatnya. Hadits riwayat Al Ashbahany.[4]

Kedua : Adakalanya Rasulullah SAW sendiri mengajukan pertanyaan, tetapi baginda juga yang menjawabnya. Ini dimaksudkan untuk kesenangan mendengar. Contohnya  terdapat dalam hadits berikut :
حدثنا يحيى بن يحيى ، حدثنا المبارك بن سعيد ، عن أبيه ، عن أيوب بن كريز ، عن عبد الرحمن بن غنم ، عن معاذ بن جبل ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له : « ألا أخبرك برأس الأمر وعموده ؟ أما رأس الأمر فالإسلام ، وأما عموده فالصلاة »رواه المسلم.

Artinya :
Telah mengatakan kepada kami Yahya bin Yahya, kemudian al Mubarak bin Said dari bapaknya dari Ayyub bin Kariz, dari Abdurrahman bin Gonam dari Muadz bin Jabal :Sesungguhnya Rasulullah bersabda : Maukah kuberitahukan pokok segala perintah dan tiangnya ? (Rasulullah menjawab sendiri). Adapun
pokok segala perintah itu adalah Islam dan tiangnya adalah sholat[5]
                                                                 
Dari penjelasan-penjelasan tadi memberikan gambaran bahwa hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal adalah metode yang telah ditetapkan al-Qur’an dan wajib diamalkan. Adapun penjelasan yang lebih terperinci akan dijelaskan pada bab selanjutnya.


[1] Dr. Rifyal Ka’bah MA, Penegakan Syariat Islam di Indonesia,Khairul Bayan,Jakarta 2004, Hal.172
[2]Ibid
[3] Dr. Rifyal Ka’bah MA, op.cit., Hal.173
[4] Abu Syekh As Bahany, Amtsal al Hadits li Abi As-Syekh al-Asbahany, Tahqiq oleh Dr.Abdul Ali Abdul Hamid, Dar as-Salafiyah, Hindi, 1402 H, Hal.321/I.
[5] Muhammad Bin Nasr, Ta’dzim Qadar as-Shalat li Muhammad bin Nasr al-Marwadzi,Mawaqi’u Jami’u al Hadits, tp, tt, Hal.218/I.

Tidak ada komentar: