Selasa, 13 April 2010

Metodologi Hikmah, Mau’izhah Al Hasanah dan Jidal

A.     Pengertian Metodologi Hikmah, Mau’izhah Al Hasanah dan Jidal
1. Pengertian Metodologi Secara Umum
Dalam definisi umum metode adalah cara atau jalan. Menurut Winarno Surakhmad metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai tujuan,[1] sedangkan Sarimunda Nasution mendefinisikan metode sebagai cara untuk melakukan sesuatu prosedur.[2] Adapun Morris dalam bukunya mengemukakan bahwa metode adalah “ a means or manner of procedure, especially, a reguler a systematic way accomplissing anyhthing method emphasize procedures according to a detailiced, logically ordered plan.” [3] Sejalan dengan pendapat tersebut Hasan Alwi, dkk mengatakan bahwa metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[4]
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa metode adalah prosedur yang disusun secara teratur dan logis yang dituangkan dalam suatu rencana kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa unsur-unsur metode mencakup prosedur, sistematik, logis, terencana dan aktifitas untuk mencapai tujuan.
            Metode sebagai alat pencapai tujuan ini sejalan dengan pendapatnya Syaiful Bahari Djamarah dan Aswan yang dikutip oleh Kartini Kartono, bahwa metode adalah  cara yang sistematis untuk mencapai tujuan, dengan memberikan tambahan bahwa metode juga berfungsi sebagai strategi pengajaran.[5]
            Secara ringkas, metodologi ialah pembahasan tentang metode atau metode-metode.[6] Metodologi pengajaran agama Islam berarti pembahasan tentang metode atau metode-metode  pengajaran agama Islam.[7] Adapun dalam Metodologi pengajaran agama Islam yang dikaji dalam skripsi ini ialah tentang konsep pengajaran hikmah, mau’izhah al hasanah dan jidal (surat An nahl ayat 125).
            Oleh karena itu perlu dipahami sebelumnya pengertian metodologi melalui pendekatan ushul sebagai paradigma tasyri’. Sejalan dengan pendapat Muhammad Anwar yang dikutip DR. Rifal Ka’bah MA  bahwa metodologi  adalah suatu model yang menyediakan prinsif-prinsif teoritis dan kerangka kerja yang memberi petunjuk bagaimana penelitian dilakukan dalam konteks sebuah paradigma. Sedangkan paradigma adalah satu set proposisi (rancangan usulan) yang menerangkan bagaimana dunia dipahami.[8]
            Di sisi lain, suatu paradigma bahwa sumber segala eksistensi atau yang maujud adalah Tuhan (theocentris) jelas akan mempunyai implikasi yang berbeda dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Dibandingkan dengan paradigma lainnya bahwa manusia mempunyai kedudukan sentral dijagat raya (anthropocentris).[9]

2. Urgensi Memahami Thariqah, Uslub Dan Wasilah    
a. Thariqah (Metode)              
            Qadhi Taqiyyuddin An Nabhani telah menyatakan: Islam adalah akidah yang memancarkan sistem. Sistem ini adalah hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil tafshîlî (kasus per kasus). Di dalam sistem tersebut, Islam telah menjelaskan tata cara yang digunakan untuk menerapkan hukum-hukumnya melalui hukum syara’. Dan hukum-hukum syara’ yang menjelaskan tata cara untuk menerapkan (hukum) inilah yang disebut thariqah, sementara yang lain adalah fikrah.
 Hukum-hukum syara’ yang menjelaskan tata cara menerapkan solusi-solusi (hukum-hukum syara’) ini, serta tata cara mempertahankan akidah dan mengemban dakwah itu juga merupakan thariqah. Dan, selama thariqah tersebut terdapat di dalam syariah, maka dalam masalah thariqah itu wajib hanya mengambil apa yang dinyatakan oleh syara’ dan apa yang digali dari nas-nasnya.
 Demikianlah, hukum-hukum thariqah yang lain itu digali berdasarkan ijtihad dari al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat dan Qiyas, sebagaimana hukum-hukum yang lain.[10] Ketika as-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan al-Kitab, maka fikrah itu juga dinyatakan secara Mujmal dalam al-Kitab, sementara di dalam as-Sunnah dinyatakan secara detail. Begitu juga thariqah telah dinyatakan dalam al-Kitab secara Mujmal, sementara di dalam as-Sunnah telah dinyatakan secara detail.
Dengan menganalisis berbagai aktivitas yang ditunjukkan oleh hukum syara’ yang berkaitan dengan thariqah ini akan ditemukan, bahwa thariqah itu merupakan aktivitas fisik, yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang bisa dirasakan, dan bukan aktivitas yang dapat merealisasikan hasil-hasil yang tak dapat dirasakan.[11] Contohnya do’a adalah aktivitas yang dapat merealisasikan nilai spiritual, dan jihad adalah aktivitas fisik yang dapat merealisasikan nilai spiritual. Tetapi meski do’a tersebut merupakan aktivitas fisik, namun do’a dapat merealisasikan hasil-hasil yang tidak dapat dirasakan, yaitu pahala, sekalipun tujuan orang yang melakukan do’a tersebut adalah untuk merealisasikan nilai spiritual. Berbeda dengan jihad, karena jihad adalah memerangi musuh, dan itu merupakan aktivitas fisik yang dapat merealisasikan hasil yang dapat dirasakan, yaitu ditaklukkannya benteng, kota atau terbunuhnya musuh, dan sebagainya, sekalipun orang yang berjihad itu bermaksud untuk merealisasikan nilai spiritual.[12]
Perbuatan-perbuatan cabang ini, jika dinyatakan oleh hukum khusus, maka perbuatan tersebut merupakan thariqah. Namun, jika perbuatan tersebut tidak dinyatakan oleh hukum khusus, maka keumuman hukum yang menyatakan hukum asalnya juga menjadi dalil bagi kemubahan untuk melaksanakan perbuatan apapun, maka perbuatan tersebut hukumnya mubah, dan itu adalah uslub.
 Demikianlah, setiap perbuatan seorang muslim harus dijalankan menurut hukum syara’. Adapun kemubahan tersebut adalah apa yang harus dilakukan dengan salah satu perbuatan, tanpa disertai ketentuan, sedangkan keterikatan pada hukum tertentu adalah apa yang harus dikerjakan dengan perbuatan tertentu yang telah ditentukan oleh syara’. Perbuatan yang telah ditentukan oleh syara’, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkan, disebut thariqah, dan selama syara’ tidak menentukan perbuatan tertentu untuk dikerjakan, tetapi memerintahkan agar dilaksanakan dengan perbuatan apapun, maka disebut uslub.
          Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa thariqah adalah hukum syara’ sebagaimana hukum syara’ yang lain, yang digali dari dalil-dalil syara’, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat maupun Qiyas.[13] Hukum ini mengatur aktivitas manusia yang berkaitan dengan tata cara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan Allah. Dengan kata lain, thariqah adalah aktivitas yang telah ditentukan oleh syara’, yang digunakan untuk menunaikan perbuatan yang diperintahkan, baik untuk dilaksanakan maupun ditinggalkan. Karena itu, aktivitas tersebut mempunyai ciri khas, berupa aktivitas fisik, dapat merealisasikan hasil-hasil yang dapat dirasakan, bersifat tetap, dan tidak berubah. Karena aktivitas ini telah ditentukan oleh syara’, maka akal tidak mempunyai peranan untuk menentukan aktivitas ini, selain memahami apa yang telah dijelaskan oleh syara’. Dan karena telah ditetapkan oleh syara’, maka untuk menentukan thariqah tidak diperlukan akal inovatif (‘aql mubdi’), tetapi cukup dengan menggunakan akal biasa (‘aql ‘adi).[14]
Karena thariqah ini telah dijelaskan oleh Rasul dalam sunnah fi’liyah beliau, maka thariqah ini harus diambil sebagaimana yang telah beliau contohkan, baik yang  berkaitan dengan bentuknya (mumâtsalah), momentumnya (min ajlihi) maupun hukumnya (‘alâ wajhih). Dengan demikian, secara umum bisa disimpulkan bahwa thariqah sama dengan hukum syara’ yang lain. Sama-sama bersumber dari dalil syara’, baik al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.             Demikian juga ada yang qath’i dan dzanni, sebagaimana hukum syara’ yang lain, meski masing-masing ditetapkan oleh dalil. Ini ketentuan secara umum tentang thariqah Islam.

b.  Uslub (Tekhnik)

Uslub menurut An-Nabhany dalam kitabnya At-Tafkir di definisikan sebagai tata cara tertentu untuk melakukan aktivitas, dan merupakan tata cara yang tidak tetap. Dalam alenia lain dinyatakan uslub itu ditentukan oleh jenis aktivitasnya. Karena itu, uslub tersebut berbeda mengikuti perbedaan jenis aktivitasnya.[15]
Ini berkaitan dengan fakta uslub secara umum. Dalam kaitannya dengan hukum syara’, uslub adalah tata cara untuk mengimplementasikan perintah dan larangan syara’ yang aktivitasnya tidak ditentukan oleh syara’, tetapi diserahkan kepada ijtihad akal. Karena itu, untuk merumuskan uslub dibutuhkan akal inovatif.           
Uslub (cara) adalah cabang dari metode (thariqah). Uslub berbeda dengan thariqah, ia tidak memiliki pijakan dalil secara khusus, tetapi mengikuti hukum thariqah. Contohnya adalah dalam konteks jihad, yakni ketika Allah SWT memerintahkan kaum Muslim menyiapkan kekuatan apa saja yang mungkin dapat digunakan untuk menggentarkan, melawan, dan mengalahkan musuh. Allah SWT berfirman dalam surat Al Anfal ayat 60:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Artinya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)..[16]

Persiapan tersebut memerlukan banyak aktivitas seperti menggunakan cara pabrikasi senjata tertentu, mengadopsi gaya militer tertentu, dan sebagainya.  Semua aktivitas itu secara implisit terkandung dalam kata  siapkanlah sehingga tidak lagi memerlukan dalil-dalil untuk menjelaskan masing-masing dari aktivitas tersebut.         
Walhasil, uslub adalah sekumpulan aktivitas cabang yang diasumsikan sesuai dengan suatu aktivitas pokok tanpa memerlukan dalil khusus. Pengadopsian cara atau tekhnik mengajar tertentu, tekhnik berperang, prosedur pengumuman suara, aturan lalu lintas tertentu, pembagian kekuatan militer ke divisi dan subdivisi, dsb. Semuanya berhubungan dengan uslub tertentu dan hukumnya boleh diadopsi. Namun demikian, ketika uslub tertentu mutlak harus diadopsi, maka ia menjadi wajib hukumnya karena kaidah syariat menyatakan:
مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِب
Artinya:
“Suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib”[17]
Dari kaidah tersebut kita dapat mengetahui bahwa tidak ada satu kewajiban untuk mengikuti satu uslub tertentu, kecuali ketika uslub tersebut harus diwujudkan  sesuai dengan kaidah di atas, karena uslub bersifat kondisional.
Dengan alasan ini, uslub (tekhnik) yang dipakai seseorang bisa saja berbeda dengan yang dipakai oleh orang lain dan bisa berubah dari satu situasi ke situasi yang lain. Karena itu, tidak bijaksana membatasi uslub tertentu sebagai standar. Sebab, uslub ditentukan oleh situasi dan kondisi.  Satu uslub boleh jadi sangat berhasil pada satu situasi tetapi  menjadi gagal total pada beberapa situasi yang lain. Karena itu pula, kita berkewajiban untuk berusaha keras mencari uslub yang paling efektif.  Dalam banyak hal, uslub yang efektif akan berpeluang besar membuahkan hasil yang sangat baik .

c. Membedakan Thariqah dan Uslub

            Dengan meneliti sejarah dakwah, seseorang akan dapat mengetahui bahwa ada banyak keadaan yang menjelaskan perbedaan antara metode (thariqah) dan cara (uslub). Kita diperintahkan untuk mengadopsi dan menegakkan thariqah tanpa ada deviasi sedikitpun, tetapi tidak diwajibkan untuk mengadopsi uslub tertentu. 
Sunnah Rasulullah adalah bagian tak terpisahkan dari Islam.  Sunnah menjelaskan dan mendeskripsikan secara detil banyak fikrah dan thariqah yang diperintahkan dalam al-Quran. Penjelasan atas fikrah tertentu adalah sama hukumnya dengan fikrah itu sendiri.  Contohnya adalah ibadah ritual. Allah telah memerintahkan bagaimana performa seseorang yang melaksanakan shalat dan haji secara detil.  Semua aktivitas itu hukumnya sama dengan fikrah-nya, yakni perintah untuk menunaikan shalat dan haji itu.
Untuk mengetahui mana dari aktivitas Rasulullah yang merupakan kewajiban, mana yang merupakan sunnah/anjuran, dan mana yang merupakan kemubahan maka ketentuan dalam ushul fikih perlu dijelaskan. Dengan mendalami aktivitas Rasul dalam berbagai tahapan dakwahnya akan ditemukan apakah suatu aktivitas merupakan bagian dari thariqah  atau  uslub.
Oleh karena itu uslub didefinisikan sebagai cara bagaimana suatu kewajiban dilaksanakan. dan uslub tidak memerlukan dalil spesifik  karena telah tercakup dalam dalil umum dari aktivitas pokoknya dan tujuan yang hendak diraih.

d. Wasilah (Alat)
            Sedangkan wasilah adalah sarana dan prasarana yang digunakan untuk melakukan aktivitas. Dalam peperangan, bom, pesawat tempur, roket, radar, peta dan lain-lain adalah wasilah. Dalam hal ini, berlaku kaidah ushul fikih:
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Artinya:
 Hukum asal benda benda adalah boleh sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya”.[18]
Sedangkan tara cara menggunakannya dalam aktifitas tersebut merupakan uslub. Perlu diperhatikan bahwa dalam berfikir untuk merumuskan uslub harus disertai dengan memikirkan wasilah-nya.  Sebab, secanggih apapun uslub termasuk khiththah yang dirumuskan, tidak ada artinya jika menggunakan wasilah yang tidak bisa menghasilkan solusi yang hendak diwujudkan. Misalnya, untuk melawan musuh yang melakukan perang jarak jauh dengan bersenjatakan senjata canggih, tidak bisa dilawan dengan senjata pedang dan panah, misalnya, meski strategi (khiththah) yang telah dirumuskannya sedemikian canggih. Bahkan, bisa dikatakan strategi (khiththah) yang telah dirumuskan sedemikian canggih itu menjadi sia-sia belaka.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa untuk mengimplementasikan setiap perintah dan larangan Allah itu ada metode (thariqah)-nya. Maka, siapa saja yang hendak mengimplementasikan perintah dan larangan Allah, harus terikat dengan thariqah-nya, sehingga sejalan dengan fikrah-nya. Inilah yang dimaksud, bahwa thariqah itu harus sejenis dengan fikrah-nya.[19] Untuk melaksanakan thariqah yang telah ditetapkan, syara’ telah memberikan peluang kepada manusia untuk membuat rumusan apapun yang sejalan dengan hukum thariqah, asal tidak bertentangan dengan hukum yang tegas, sehingga thariqah tersebut benar-benar bisa dilaksanakan dengan efektif dan dengan hasil yang cemerlang. Inilah yang disebut dengan uslub dan wasilah. Karena itu, uslub dan wasilah tersebut bisa berubah-ubah, dan banyak, sementara thariqah-nya tetap, dan hanya satu. Maka, ketika thariqah tersebut telah dibuktikan kebenarannya, namun belum berhasil juga mewujudkan tujuan yang hendak diimplementasikan, pada dasarnya yang harus dikaji dan diubah bukanlah thariqah-nya, melainkan uslub dan wasilah-nya, hingga berhasil mewujudkan tujuan yang dihendakinya.
Dengan demikian, berfikir terus-menerus untuk melahirkan uslub dan wasilah baru merupakan ciri khas aqliah “hall al-masyâkil” yang harus dimiliki oleh setiap orang yang ingin melakukan perubahan. Jika tidak, orang tersebut akan mundur dan melarikan diri dari permasalahan.


[1] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tekhnik, PT Tarsito, Bandung 1986,Hal.96.
[2] Sarimunda Nasution, Didaktik Azas-Azas Mengajar, Gemmars, Bandung 1982, Hal.96.
[3] Morris, The American Heritage Dictionary, Oxford University Press, tt, Hal.826.
[4]Hasan Alwi,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen P dan K, Balai Pustaka, Jakarta, 2007, Hal.740.
[5] Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, Mandar Maju,, Bandung 1997, Hal.82-84.
[6] Hasan Alwi,dkk, op.cit, Hal.741
[7]Prof.DR. Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, PT Remaja Rosda Karya, Bandung,1995, Hal.12.
[8] Dr. Rifyal Ka’bah MA, Penegakan Syariat Islam di Indonesia,Khairul Bayan, Jakarta, 2004, Hal.172

[9] Mahmud Toha, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, PT Mizan Publika, Bandung, 2004, Hal.10.
[10] As-Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhany, Mafahim Hizb at-Tahrir, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, cet.IV, 2001, Hal 55-56
[11] Ibid, Hal. 57-58.
[12]Ibid
[13] Hizb at –Tahrir, Nasyroh Soal Jawab, 26 Jumadil Akhir 1383 H /14 september 1963.

[14]Syaikh Taqiyyuddun an- Nabhany, at Tafkir, t.p., t.t, Hal.92.
[15] Ibid
[16] Sunaryo,dkk, op.cit,.Hal 271.
[17] Al Amidy,  Al Ahkam lil Amidy, Mawaqi’u Ya’sub, tp, t tp, tt,Hal.171/III; Lihat juga:Anonim, Hasiyah Al ’Ithoor ‘Ala Syarh Al Jalaal ‘Ala Jam’i Al Jawaami’i, tp, t.tp, tt, Hal.100/II.
[18] As-Suyuthi, Al Asybah Wa An-Nadhair, Dar Al-Fikr, Beirut, 1983, Hal.60.
[19] Hafidz Abdurahman, Dalam Siyasah dan Dakwah: Thariqah, Al Wa’ie No.45, 1-31 Mei 2004.

Tidak ada komentar: